Aku
seorang gadis desa yang kebetulan beruntung memiliki pekarangan yang indah.
Benar-benar indah, bahkan pekaranganku akan membuat iri pada tiap mata orang
yang melihatnya. Ada pun,
beberapa orang berusaha membuat pekarangan seperti milikku. Tapi apa? Tak ada yang menandinginya! Sebab pekarangan itu biasa kunikmati saat pulang kampung. Indah
memang, tapi
penuh duri. Inilah pekarangan bunga mawarku.
***
Kuangkat
secangkir teh hangat dari meja kayu jati di depan kursi dudukku. Secangkir teh
hangat buatan nenek dengan penuh kasih sayang. Kusesap teh itu sedikit demi sedikit. Kunikmati
aroma, serta rasa
khasnya sambil
mengisap udara segar sore ini, di tengah pekarangan bunga mawar.
Tiba-tiba, di tengah
aktivitas meminum teh hangat, aku terkejut melihat seekor kupu-kupu cantik tak berdaya di atas tanah. Kuamati kupu-kupu itu. Ternyata sayap sebelah kanan miliknya robek. Kudapati tanaman mawar di atasnya. Benar
saja, sayapnya terkena duri!
Mungkin
kupu-kupu itu takkan bisa
terbang lagi. Harusnya ia lebih hati-hati. Ini pekarangan mawar, dan mawar penuh duri. Tampak pekarangan tetangga samping rumah.
Di sana juga indah, tapi tanpa mawar. Mengapa tak kesana
saja? Lalu aku berpikir sambil nyengir:
“Hah dasar, bodoh!”
Kuminum
teh hangat yang sebentar lagi tak bisa
disebut hangat karena udara sekitar. Aku jadi teringat dengan kata “bodoh”. Bukankah aku juga sama dengan kupu-kupu itu? Aku teringat sebuah kenangan
itu. Entah itu kenangan
manis atau pahit. Aku tidak tahu.
***
“Tenanglah, aku takkan
memaksamu. Persoalan
kamu mencintaiku atau tidak, itu urusanmu. Aku hanya ingin kamu mengetahuinya,
bahwa aku mencintaimu. Kamu tak perlu memaksakan dirimu sendiri membalas
cintaku. Aku bisa melihatmu setiap hari itu sudah cukup. Bila nanti kamu akan
menjadi milik orang lain, aku akan diam-diam mencintaimu dan juga diam-diam
melupakanmu,”
kataku sambil tersenyum kepadanya. Dan kumasukkan buku-bukuku ke dalam tas.
“Kamu akan terluka,” balasnya.
“Tidak. Aku akan terluka bila kamu
memaksaku berhenti mencintaimu. Antar aku pulang, ini sudah sore. Yang lain
juga sudah di lantai dasar.
Ayo,” aku menyeret
tasnya, dan tetap
tersenyum.
Lalu dia mengantarku pulang. Seperti
biasa, ia akan mengatakan, “buruan masuk, aku akan pulang” ketika sampai di
depan gerbang.
Jujur,
aku butuh
kekuatan lebih untuk mengatakan hal-hal yang seperti itu. Dan jujur, rasanya
benar-benar sakit di dalam
dada.
Seperti biasa, malam hari, saat kami tak bertemu, dia akan jarang mengirim pesan singkat padaku. Mungkin sejam kita hanya bisa membalas pesan singkat sekitar 5
sampai 6-an saja. Tak seperti yang lain, dalam setengah jam bisa sampai
berpuluh balasan pesan singkat. Kadang aku yang mengirimi dia pesan singkat duluan, lantaran
aku merindukannya. Meski hari itu kami
sudah
bertemu.
Tapi jangan bayangkan, bahwa kami sedang bermusuhan atau bertengkar.
Kami ya
seperti ini. Inilah hubungan Kami.
Rumit.
***
“Kamu dimana?” Pesan singkat
darinya.
“Aku di kelas, lapar, dan belum sarapan,” balasku.
“Iya nanti makan.”
“Iya.”
Seperti biasa, cuek. Sebenarnya tak
cuek. Dia memang seperti itu, aku sudah hafal. Tapi tetap saja itu menyebalkan. Siang
itu aku sudah dibuat kesal lagi. Harusnya dia balas “Iya, ayo makan. Aku jemput
ya,” atau kalau
tidak dibalas “Aku antar beli makan ya”. Tapi apa balasnya? Andai aku bisa beli
sendiri memakai motor, pasti
sudah memakainya. Andai tidak sibuk, aku mau beli, walau jalan kaki. Andai tak
gerimis, aku tetap mau saja untuk beli.
Setengah jam kemudian, seorang
lelaki datang ke sekumpulanku di kelas itu. Ternyata dia.
“Cepat ke sini,” panggilnya.
Aku pun datang menghampirinya. Dia
menyerahkan sekantong kresek putih dari dalam tasnya. Aku bingung. Dia
menyuruhku untuk melihatnya. Makanan. Ternyata dia sudah membelikanku makanan.
Aku tersenyum padanya.
“Terima kasih,” ucapku.
“Dimakan, jangan telat terus. Aku
pulang duluan.”
***
Pagi ini aku telat masuk kelas
lantaran menunggu seorang teman
yang biasa menjemput setiap hari. Tapi tidak dengan pulang.
Aku memasuki kelas. Kelas telah
ramai. Tampak
dia juga sudah di kelas. Dia melihatku dengan senyum. Hari ini aku ingin duduk
di sampingnya, tapi karena
telat, kursi di sekitarnya
sudah penuh dengan teman-teman yang lain.
“Duduk depanku,” katanya.
“Aku mau duduk sampingmu hari ini,” balasku.
Lalu dia mengambil tasnya, kemudian berdiri dari kursi yang dia duduki.
Beranjak keluar dari gerombolan teman-teman disampingnya.
“Ayo. Mau duduk di mana?” Tanyanya.
Aku tersenyum bahagia. Kutolehkan
kepalaku ke kanan dan ke kiri, ke depan lalu ke belakang. Kulihat ada sisa dua
kursi. Di belakang.
“Di sana,” aku menunjuk dua kursi. Dan kami melangkah ke dua kursi itu.
Setelah selesai menerima materi, kami pun pulang. Aku masih sibuk
memasukkan alat-alat tulis menulis ke dalam tas.
“Nanti, cari suami yang tinggi, ya. Jangan yang berkulit putih, cari
yang sedang. Cari tubuhnya yang sedang juga, jangan kurus, jangan pula gendut.
Biar bisa mengimbangi tinggi dan warna kulitmu. Bila ingin punya anak, tiga saja. Biar kamu gak kesepian nanti,” katanya.
Aku berpikir sejenak. Tinggi? Itu
bukan dia. Dia tak begitu tinggi. Dia sama sepertiku. Kulit yang warna sedang? Bukan
dia! Dia putih. Tubuh sedang? Juga bukan dia. Kenapa yang dia ucapkan tak
sedikit pun ada pada dirinya. Mungkin dia benar-benar tak mencintaiku.
“Iya,” jawabku sambil tersenyum kepadanya.
“Pintar,” ucapnya sembari mengusap kepalaku
sekali lalu berdiri dan keluar kelas. Namun dia masih menungguku. Aku akan
pulang dengannya.
Kupandangi dia yang sedang memandang
langit dengan mata kosong. Aku sampai sekarang tak bisa menebak pikiran dan
hatinya.
***
“Ayolah, sekali saja,” kataku.
“Tidak mau,” jawabnya.
“Sekali saja, kumohon.”
“Buat apa?”
“Buat kenang-kenangan.”
“Dulu kan sudah pernah, bahkan
banyak kan foto berduanya.”
“Tapi kali ini ‘kan beda, aku pakai baju tari.”
Setelah memaksanya berfoto denganku,
dia pun mau. Meski posenya jelek, tapi aku bahagia. Setelah itu aku berganti
baju. Dan dia berias, bersiap untuk tari. Aku menunggunya. Kali ini sama, dia
tak mau berfoto denganku. Padahal, bila aku sudah manja akan dituruti. Tapi kali
ini tidak. Entahlah mengapa?
“Bawa ponselku, fotokan aku nanti.
Ayo ikut ke depan,”
katanya.
“Baiklah,” aku berdiri dari kursi dengan semangat
dan tersenyum.
Aku mengikuti dia ke tempat keramaian itu. Aku
penasaran dengan foto-foto yang sudah dia ambil hari itu. Aku kaget saat itu
juga, ternyata dia tadi sudah berfoto dengan wanita yang pernah sangat dekat
dengannya. Aku benar-benar iri, mengapa denganku selalu menolak. Aku
benar-benar iri. Kuberikan ponselnya pada temanku, untuk memfotokannya.
Aku pun kembali ke kursi semula
dengan lemah lesu, tanpa semangat. Rasanya di dalam
dada benar-benar sesak. Dia memandangku, mungkin dia akan bingung dengan sikapku.
Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak ingin dia melihat mutiara indahku jatuh.
Segera kusingkirkan mutiaraku itu. Aku
keluar dari keramaian itu.
Dia pun menghampiriku setelah berganti
pakaian.
“Kenapa diam?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
Dua sahabatku menghampiriku. Dia
pasti tahu
apa yang terjadi tanpa aku bicara. Dan dia sudah memahamiku.
“Ayo pulang, aku antar!” salah satu ajakan sahabatku.
“Biarkan aku yang mengantarnya pulang,” jawabnya.
“Baiklah, jaga dia baik-baik. Jangan
dibuat nangis lagi. Kami
duluan ya,”
kata salah satu sahabatku, sambil menepuk pundakku.
Kami pun hanya berdua. Aku diam. Tanpa
memandangnya. Dan menaiki motornya. Dia pelankan laju motornya,
“Kamu menangis?”
Aku hanya mengangguk.
“Gara-gara foto berdua?”
Aku mengangguk lagi.
“Kan tadi kita juga sudah foto?”
Dan mengangguk lagi.
“Jadi, ya sudah.”
Aku diam.
“Aku ingin melihatmu menangis,” katanya sembali nyengir.
“Senang lihat aku menangis? Aku berusaha
menutupi ini darimu, kamu justru ingin melihatnya. Menyebalkan,” jawabku.
“Jangan menangis. Dia teman. Kalau kamu
bukan teman.”
“Lalu?”
“Musuh,” dia tertawa.
Aku kembali tersenyum. Seperti
biasa, bila sampai depan gerbang dia berucap, “Buruan masuk, aku akan pulang.”
***
Sering. Sangat sering saat malam tanpa ada tugas. Kami berdua keluar. Entah mencari makan
atau hanya sekedar duduk berdua melihat keramaian organisasi-organisasi yang
sedang melakukan aktivitas saat
malam di kampus. Bila dipikir,
memang tak ada gunanya hanya sekedar duduk. Tapi ini membuktikan bahwa ada rasa
yang selalu ingin bertemu, seperti sebuah cinta. Mungkin. Kupikir ini memang
sebuah cinta, tapi nyatanya ini adalah sebuah kebodohan dariku sendiri.
Ada hati lain yang dia jaga, bukan
hanya hatiku. Bahkan setiap menit dia selalu rajin membalas pesan singkatnya.
Iya, karena hati yang dia jaga adalah seorang wanita yang sangat dekat
dengannya hampir 5 tahun,
dan sekarang wanita itu sedang menempuh pendidikan pula di tempat jauh.
Semua pasti bisa membayangkan
posisiku. Ingin bernapas rasanya sesak. Ingin tersenyum rasanya berat. Ingin
memejamkan mata rasanya susah. Ingin menangis rasanya, ah buat apa?
Sudah jelas ini jalan yang kupilih dari awal, bukan? Dan aku juga sudah mengatakan.
Biarkan aku mencintainya.
***
Malam itu sekitar pukul 23.30 WIB.
“Buruan tidur,” pesan singkat darinya.
“Aku menunggu balasan pesan darimu,
mengapa selalu seperti ini? Lama. Selalu aku yang menunggu,” balasku.
“Tidak apa-apa. Sudah, buruan tidur.”
“Selalu tidak dijawab. Aku malas
untuk tidur.”
“Kenapa malas?”
“Kesal sama kamu dan iri pada yang
lain. Kadang kamu membalas pesan kepada yang lain cepat dan terlihat akrab.
Sedangkan kepadaku, lama dan cuek.”
“Aku tidak cuek.”
“Iya
aku tau kamu pasti akan jawab seperti itu.”
“Aku
memang seperti ini. Jangan mengeluh. Kenapa aku membalas pesan singkatmu
seperti itu? Jawabnya karena kamu selalu membuatku malas. Memang, aku
menyukaimu. Kamu seorang wanita penyabar dalam menghadapiku. Kamu selalu baik kepadaku.
Dan kamu juga selalu minta maaf karena kesalahan kecil yang telah kamu perbuat
kepadaku. Kamu tau bahwa itu salah dan meminta maaf. Tapi kamu kadang tidak
bisa mencari cara agar tak membuatku malas denganmu.”
Saat itu juga dadaku benar-benar sesak.
Aku hanya ingin menangis. Sering dia berucap bahwa aku selalu membuatnya malas.
Tapi aku pun tak pernah tahu
apa yang telah kuperbuat sehingga membuatnya malas. Aku selalu berpikir, lebih
baik selalu bertemu daripada tidak lalu saling memberi kabar lewat pesan
singkat. Karena bila kami
bertemu semuanya baik-baik saja. Lalu aku membalas pesan singkatnya.
“Ya
sudah, kalau memang
aku membuatmu malas. Maaf....”
“Cuma
begini perjuanganmu untuk
mempertahankan?”
“Saat
ini aku hanya ingin menangis.”
“Menangislah
dan segera tidur.”
Aku pun benar-benar menangis, dan berpikir.
Apa yang harus kulakuka? Hingga tanpa sadar aku tertidur. Pagi pun menghampiri.
Pagi ini ada kelas pukul tujuh, aku akan bertemu dengannya di kelas. Tapi aku
ingin mengiriminya pesan singkat terlebih dahulu.
“Selamat
pagi. Aku sudah berpikir. Aku ingin meminta maaf karena telah membuatmu malas
selama ini. Tapi kali ini aku akan berusaha memperbaikinya. Yang
kemarin-kemarin biarlah. Setelah kejadian semalam, aku beranggapan hari ini
adalah hari pertama. Hari pertamaku untuk mencoba mendapatkan hatimu, dan hari
pertamaku untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku. Akan aku mulai dari nol lagi.
Tolong kerja samanya,
ya. Jangan lupa untuk jatuh cinta kepadaku.” pesan yang begitu panjang dariku.
Akhirnya
kami bertemu di kelas, dia melihatku
sambil tersenyum. Dan dia telah menyiapkan satu kursi disampingnya untukku. Setelah
selesai, kami
masih duduk bersampingan. Kami
mulai saling bercerita, dan dia mulai menceritakan tentang
keluarganya. Aku pun dengan senang hati mendengarkan. Lalu, ponselnya berdering.
Telepon. Ternyata wanita yang dia jaga
hatinya itu.
“Angkat
saja tak apa, aku akan pergi keluar. Bila sudah selesai, aku akan kembali ke
sini. Angkat saja,”
kataku padanya sambil tersenyum.
Dia
menutup telepon,
dan tidak mengangkatnya. Lalu, berdering kembali. Dari wanita yang sama.
“Sudah
kukatakan, angkat saja. Benar, tak apa-apa,” aku tersenyum lalu pergi keluar dan melirik dia mengangkatnya untuk berbicara. Entah apa yang mereka
bicarakan? Bukan urusanku.
Setelah
selesai, dia keluar menghampiri, dan mengajakku pulang. Hari itu memang gelap.
Hujan.
Aku
diam kali ini. Dia masih berhubungan dengan wanita itu. Lalu aku berpikir, ada dua
hati yang dia jaga. Hatiku dan wanita
itu.
Lalu hati mana yang akan dia patahkan?
Tiba-tiba
dia menyenggol tubuhku hingga kakiku masuk ke dalam
genangan air, membuat lamunanku buyar dalam sekejap. Dan dia tertawa.
Benar-benar aneh. Dia memang jail. Aku pun marah dan menyuruhnya untuk
mengambil motor dan harus menghampiriku. Tapi apa, dia justru pergi sendiri dan
bilang, “Aku pulang, kamu hati-hati dijalan ya!” sambil melambaikan tangan kepadaku, aku berteriak kepadanya, dan dia semakin
tertawa. Tapi
tetap saja dia akan memutar motor lalu menghampiriku.
“Ayo
naik,” dengan senyum.
Aku
pun tersenyum kepadanya dan naik.
Hati
yang tak pernah bisa kutebak.
***
Tiba-tiba
sebuah sengatan pada kakiku, seekor semut telah menggigitnya dan membuat
lamunanku usai. Ternyata telah lama waktu terbuang untuk melamun. Kupegang
cangkirku, dingin. Pasti tehnya sudah tak enak lagi untuk diminum. Aku pun
masuk ke dalam rumah. Tubuh terasa sangat dingin, mungkin karena sudah sore
bahkan hampir gelap. Dan aku terlalu lama di luar. Mungkin juga karena ini
pergantian musim.
Dua
hari setelah sore itu, aku sakit. Kurasa ini efek dari pergantian musim. Aku
terlalu bodoh tak memakai baju tebal waktu itu. Baru sehari aku sakit, dan tak
kunjung sembuh. Seperti biasa, aku sempatkan mengirim pesan singkat kepadanya.
Ini adalah liburan. Mungkin libur panjang. Seperti pagi ini.
“Selamat
pagi. Semoga harimu cerah kali ini. Sana keluar main, ini hari minggu loh,” pesanku untuknya.
Sekitar
pukul sembilan aku mengiriminya
pesan singkat. Kulihat pukul dua belas, tapi dia tak membalas. Kulihat lagi
sudah pukul satu siang, aku lelah melihat ponsel. Dan aku tertidur. Aku bangun
pukul lima sore, lalu
segera cuci muka lantaran masih sakit,
dan tidak mungkin mandi di sore hari seperti ini.
Malam
hari, aku membuka ponsel. Ternyata tadi sore dia telah membalas pesan
singkatku. Seperti ini.
“Aku
baru pulang memancing, aku tak membawa ponselku”
“Iya
tak apa, kamu pasti kelelahan. Kamu istirahat ya. Aku sedang sakit. Maaf aku
baru membalas pesanmu, baru buka ponsel,”
balasku malam itu.
“Iya
tak apa-apa,”
balasnya.
Sangat
kejam. Kata-katanya terasa
jauh lebih sakit daripada tubuhku ini. Memang bodoh aku mencintainya. Sudah cukup.
Sepuluh menit kemudian dia kembali mengirimiku pesan, aku memang sengaja tak membalasnya
tadi. Buat apa memang?
“Cepat
sembuh ya,”
pesan singkatnya untukku.
Aku
berpikir. Mungkin dia hanya merasa iba kepadaku, hanya seperti itu yang dia
katakan. Bodohnya diri ini. Lelaki yang kuidamkan, kupuja, kusayangi, kucinta
tak pernah sadar dan tak pernah membalasnya. Jangankan membalas, menoleh
sedikit saja ke dalam
hatiku pun tidak.
Malam
telah berlalu. Hari ini aku tak mengiriminya pesan singkat, dia tak mencariku, dan dia pun tak mengkhawatirkanku, jadi buat
apa? Biarlah seperti ini, hingga kebodohan cintaku diam-diam hilang, sirna, dan tak datang lagi. Tentang ucapanku yang
akan membuatnya jatuh cinta kepadaku, sudahlah lupakan. Terkadang sebesar apa pun cinta kepada seseorang, akan hilang
juga bila cintanya tak pernah dihargai.
Sad ending. Hiks
BalasHapus