Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Minggu, 05 Februari 2017

Meraih Makna Pendidikan




Esai Gigih Pebri (LPM Sinar, 5 Februari 2017)

Parah ahli memiliki pandangannya masing-masing dalam memaknai pendidikan. Bagi kaum humanistik seperti Ivan Illich, pendidikan dimaknai dalam arti luas. Sementara itu, bagi kaum behavioristik seperti B.F. Skinner, pendidikan dimaknai dalam arti sempit.
Bagi kaum humanistik, pendidikan tak terbatas pada ruang dan waktu. Seseorang dapat belajar dimanapun dan kapanpun. Tidak ada kurikulum. Tidak ada rapor, penilaian, peraturan, dan segala hal yang sifatnya membatasi. Karena itu, seseorang dapat belajar sepanjang hidupnya (long-life eduation). Mereka dapat berinteraksi antar-sesama, karena tidak ada “guru” dalam prinsip pendidikan ini. Semua orang bisa jadi guru, dan semua orang bisa jadi murid. “Guru” bagi kaum ini adalah mereka yang lebih paham lebih dulu, sedangkan “murid” adalah orang yang belum memahami.
Lihatlah, suku-suku pedalaman di rimba raya. Kita akan menemukan masyarakat yang tak mengenal sekolah, tapi mampu membedakan tanaman beracun dengan tanaman berkhasiat di hutan. Siapakah guru bagi mereka? Siapapun. Kapan waktu mereka belajar? Kapanpun. Dimana mereka belajar? Dimanapun. Inilah yang dimaksud pendidikan alam, salah satu “jenis” pendidikan yang didasarkan pada pendidikan dalam arti luas.
Jika kaum humanistik mengutamakan pada kemanusiaan, maka kaum behavioristik menitikberatkan pada binatang. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh kaum behavioristik selalu dilandasi dengan pengertian “manusia adalah binatang yang berpikir”. Mereka menyamakan manusia dengan tikus. Seperti perkataan Watson, “Kami tetap yakin bahwa manusia adalah binatang, berbeda dengan binatang-binatang lainnya hanya dalam hal bentuk-bentuk tingkah laku yang ditampilkannya”.
Kaum behavioristik memanfaatkan binatang dalam penelitiannya. Mereka menguji anjing yang diberi daging, lalu dalam keadaan tertentu si peneliti memainkan lonceng. Mereka mengamati respon anjing ketika lonceng dibunyikan tanpa adanya daging. Dan saat itu, anjing akan menjulurkan lidah.
Selain menyamakan manusia dengan binatang, kaum behavioristik memandang manusia sebagai bahan mentah. Lester Frank Ward mengatakan, “Setiap anak dilahirkan di dunia, hendaknya dipandang oleh masyarakat ibarat bahan mentah yang harus diolah dalam pabrik”. Pabrik itulah yang kini dinamai dengan sekolah. Pabrik ini telah mendominasi dunia pendidikan seluruh dunia, dengan dibentuknya kelas dan tingkat pendidikan.
Jika kaum humanistik berorientasi pada kebebasan, maka kaum behavioristik cenderung pada batas-batas. Ada standar-standar dalam sistem pendidikannya. Ada kelas, ada ranking, bahkan ada jarak antara guru dan murid.
Saya sendiri, sebenarnya tidak ingin mempertarungkan dua paham yang bertolak belakang itu. Saya bukanlah ekstremis yang fanatik pada salah satu paham. Saya berada di tengah-tengah. Dan memang seharusnya demikian agar terjadi keseimbangan.
Dalam mencari makna pendidikan yang ideal, saya tak memprotes sistem sekolah yang konon “seperti pabrik”. Tapi saya juga tidak mengejek pendidikan dalam arti bebas. Keduanya, jika digabungkan, saya kira akan membentuk proses pendidikan yang sesungguhnya.
Sistem sekolah merupakan sistem yang baik, asalkan tidak dipandang sebagaimana pabrik. Sistem sekolah berguna agar kita disiplin mempelajari suatu ilmu. Jika dipadukan dengan “pendidikan dalam arti bebas”, sistem sekolah seyogianya tidak mendehumanisasikan manusia seperti robot.
Sewajarnya siswa diberikan kebebasan berekspresi. Untuk belajar sastra, misalnya. Mereka sepantasnya belajar mengemukakan gagasan, salah satunya dalam bentuk tertulis. Bukan hanya menghafal nama sastrawan dan tahun. Sementara itu, untuk belajar matematika dan ilmu pengetahuan alam, hendaknya guru mengaitkan mata pelajaran dengan kondisi lingkungan. Hal itu bertujuan agar mata pelajaran tidak bersifat teoretis semata tapi juga praktis.
Adapun, seorang guru harus memiliki pemikiran yang luas (open minded). Artinya, mereka harus percaya bahwa dirinya pun bisa menjadi peserta didik. Tidak menutup kemungkinan seorang guru belajar kepada muridnya, jika memang diperlukan. Ia juga harus bersikap sebagaimana seorang teman kepada teman, bukan “guru” dalam pengertian “sok tahu”.
Dengan pemikiran yang luas, guru akan memahami perbedaan antara persekolahan dan pendidikan. Sekolah hanyalah salah satu jalur untuk menempuh pendidikan, tetapi tidak menjamin seseorang untuk menjadi individu yang terdidik. Sementara itu, pendidikan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Pendidikan inilah yang memberi harapan besar terbentuknya individu yang terdidik.
Jika guru memahami hal ini, maka tidak ada lagi pandangan bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat untuk meraih pendidikan. Tugas guru selanjutnya, menjelaskan kepada siswa bahwa mereka bisa belajar di luar sekolah dan tidak bergantung pada buku-buku sekolah saja. Mereka bisa belajar kepada siapapun selain guru, misalnya orang tua, atau bahkan anak yang usianya jauh di bawah mereka. Guru harus menjelaskan hal itu!

3 komentar:

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm