(Ilustrasi: Google)
“Aku pengen kuliah,
Zah. Tapi apadaya, adikku mau masuk SMP, sedangkan kakakku belum bekerja. Apa
hanya mengandalkan ibukku yang seorang single
parent? Atau memanggil ayahku kembali untuk bangun dari kuburnya supaya aku
ada yang membiayai kuliah? Sambil menangis sepanjang perjalanan berangkat dari kost menuju ke pabrik sepatu
yang ada di Jepara. Dan Zahro sebagai
adik sekaligus teman dikost yang selalu menjadi teman curhatku. Keluh kesahku
tentang pabrik sepatu yang melelahkan dan juga semangat untuk mengais rezeki
yang telah aku usahakan.
“Zah, aku duluan
ya. Upper-ku sudah numpuk nih. Nanti
bunda Yani marah-marah kalau tidak dapat target hari ini,” sambil berlari
menuju mesin yang menjadi partner kerjaku.
Seharian aku
semangat demi keluarga di rumah tercinta dan tentunya teruntuk adikku, Nafis.
Bunyi bel istirahat
sudah berbunyi, saatnya semua karyawan harus keluar dari lingkungan pekerjaan
untuk beristirahat, sholat dan makan, meskipun ada beberapa yang melanggar dari
aturan tersebut, tetapi sebagian yang masih menyelesaikan pekerjaannya demi
memenuhi target dan mensejahterakan kaum Korea.
“Mbak, Maria. Ayok
ke kantin! Jangan mikir kerja terus! Walaupun pekerjaanmu numpuk, tapi mikir
kesehatan juga, Mbak. Ok?” Kemudian mbak Maria bangkit dari tempat kerjanya
yang penuh dengan tumpuan upper yang
melelahkan. “Yok, Nun”. Saling menggandeng tanganku.
Sesampainya di
kantin, melihat buruh Korea yang mengenaskan dan penuh dengan penderitaan dari
kaum Korea yang mengantre demi mengisi perut yang meronta-ronta karena kejaran
target Price Order (PO) dari kaum Korea.
Sesampainya antri
di tempat makan, banyak buruh yang mengeluh karena lembur tak tergaji, makanan
tak sesuai porsi, bahan rijek, dan
sebagainya, inginku memerdekakan mereka tapi apadaya, aku juga buruh kaum Korea
demi mencari rupiah yang diperjuangkan untuk kuliah. Padahal setetes keringat
sangat berharga dengan mengorbankan anak, keluarga, dan lingkungan sekitar.
Sambel ijo, sayur
bening dan tidak kalah pentingnya krupuk tahu yang menjadi pelengkap dan
menjadi aliran harmonisku. Sesuap, demi sesuap nasi yang masuk melalui
keronkongan telah hilang dicerna oleh ususku yang lapar akan sebuah masukan
yang dikejar target-target dari jam tujuh hingga petang yang akan datang.
Bel istirahat
kurang 30 menit lagi, aku bergegas ke musala untuk melaksanakn kewajiban
menghadap sang Lillah yang memberiku kekuatan untuk menghadapi marahan, cacian
yang berada dilingkungan itu.
“Uh.
Alhamdulillah....” Sambil mengembuskan napas panjang untuk membuang semua
penat, lelah dan temannya setelah terlaksananya kewajibanku.
Waktu menunjukkan
12.55 WIB aku segera bergegas menuju ke tempat kerja yang dipenuhi dengan tong yang menjadi semangatku untuk
mengejar target 100 pasang sepatu perjamnya.
“Nul,” panggilan
sayang dari teknisiku, bu Yani yang menjadi orang tua, musuh, sekaligus temanku
selama dipabrik sepatu itu.
”Iya, ada apa,
Buk?” Jawabku sambil menjahit atasan sepatu yangpenuh variasi.
“Sudah dapat
berapa, Nul?”
”Baru 95 pasang, Buk.”
Sambil fokus dengan bahan sepatu yang penuh dengan perhatian. menengok bu Yani
yang berjalan gesit menuju cell 2.
“Syukur ya mbak. Cell kita dapat target, apa kata jika cell kita tak dapat target, bagaimana
hidup ini, cell ini? Bu Yani pasti
marah besar, ya Mbak.” Sambil gurauan dengan output sewwing cell6.
“Nun.” Output sewwing menghampiriku, dan aku sejenak menghentikan pekerjaan.
”Nun. Bu Yani
manggil kamu tuh?”
“Kenapa ya mbak,
apakah ada yang salah dari jahitanku, ya Mbak?”
“Iya, kayaknya,
margin jahitanmu melebihi ukuran deh.”
Akupun mendatangi
bu Yani dibawah office admin keuangan, dan
di situlah bu Yani marah besar terhadapku, melihat jahitan yang mau tutup PO
turun dari QC (quality control),
sebanyak 200 pasang sepatu. Dan saya mencoba menjelaskan kembali bahwa itu
bukan jahitan saya, tapi dari cell
lain, setelah ditelusuri memang dari cell
lain. Selama 2 jam demi menelusuri dan menyita waktu bekerjaku, pengawas cellku
memanggilku, “Nul. Balik”.
“Iya teh, sebentar”. Teh nanik selakupengawas yang
mau naik darah segera mengajakku untuk kembali bekerja, yang sudah jembek melihat tumpukan upper yang memenuhi meja kerjaku. Akupun
segera bergegas dan mempercepatnya menjadi 1700/jam sungguh, itu kecepatan yang
belum saya coba selama 3 bulan bekerja di pabrik ini. Dan syukurnya pekerjaan
selesai sampai menunjukkan pukul 05.00 WIB, segeralah aku pamit izin pergi
mengambil wudu untuk menunaikan kewajiban salat asharku yang aku tunda demi
duniaku.
Lima menit usai
menunaikan kewajiban, sambil mendengarkan ocehan ibuk clining service yang sedang
duduk-duduk makan di ruang WC dekat tempat wudhu.
“Ibuk, aku duluan
ya.”
“Iya nduk, seng
semangat njeh.”
“Mbak. Sudah
selesai sholatku.” Outputku yang
bernama mbak Ratna, sambil memakai topi pabrik. Dan ia hanya menganggukkan
kepalanya karena sibuk dengan rekapan tutup PO.
Hari ini aku lembur
sampai jam 21.00 WIB, inginku tidak ikhlas tapi apadaya aku memikirkan ke
belakang masih ada orang tersayang yang butuh akan rupiah ini, yang menjadikan
semangatku tumbuh kembali, dan di situlah aku mersa sedih ingin menimba ilmu di
perkuliahan.
“Capek sekali hari
ini,” sambil rebahan dan meluruskan punggung yang penuh dengan beban target
dari pasangan sepatu.
“Gimana mbak, jadi
kuliah tidak?” Tanya Zah dengan tiduran disampingku. Aku pun duduk dari tempat
tidur.
”Entah, Zah, Allah
belom mengizinkan untuk menginjakkanku di perkuliahan.” Sambil kipas-kipas
dengan data target.
“Kalau kamu
bagaimana, Zah?” Sautku dari depan lemari baju. Dia hanya tersenyum dan mengangkat
bahunya, menandakan bahwa dia juga ingin kuliah tapi, bingung juga soal biaya.
Dan setelah penat,
capek hati, pikiran dan omongan yang berada di pabrik, segeralah aku mengambil
handuk dan bergegas untuk mandi supaya beban yang ada dipundak setidaknya tidak
terpikirkan untuk tidur.
“Ainun mana?” Terdengar
dari tempat salat, ibu kost yang menanyakan ke mbak Fita juga, teman kostku.
Akhirnya aku
bergegas menemui ibu kost, ternyata hari itu dapat makan gratis dari ibu kost
yang habis hajatan karena mendapat
menantu baru.
“Suwon ya, Buk.” Sambil
menerima makanan yang diberikan kepada ibu kostku.
Waktu sudah
berlarut malam, teman seperjuanganku sudah berada di bawah alam sadar, tapi
mata ini belum saja ingin menutupnya, karena tebersit akan kata “kuliah”, sehingga aku membuka link PTN yang berada di seluruh Indonesia. Dari UGM, UNNES, UI, ITB
dan PTN yang ada di Indonesia. Tak terasa air mata menetes jatuh ke bantal
berwarna hijau lumut dan teringat akan diriku sesosok tulang punggung yang
menjadi sandaran kebahagiaan mereka.
Sambil melihat foto
ayah, “Ayah. Aku akan sukses, demi melanjutkan perjuanganmu ini, walaupun aku
ingin menginjakkan kakiku di perkuliahan”.
*Penulis Umian, Mahasiswa PGSD Angkatan 2017
nice post.
BalasHapusFamily Tree Maker Support
Family Tree Maker
FTM help center
Family Tree Maker 2019
Best genealogy software
Free family tree templates
Family book creator
Family Search
Family Tree Maker Troubleshooting and live chat
Ancestry Login
Family Tree Maker 2019 Review
Best genealogy websites for beginners
Install Family Tree Maker
Free printable family tree templates
digital webs
BalasHapus