Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Minggu, 31 Desember 2017

Duka Desember


(Ilustrasi: Google)


Diawali dengan gelapnya siang di Madura, tepatnya di desa Telang. Gelap, di siang hari?

Seorang gadis kecil termenung di jendela kampus yang penuh akan embun hujan. Dia gadis sederhana yang berasal dari kampung. Namun, tekadnya untuk mengubah keadaan keluarganya hingga rela kuliah ke Madura tanpa restu dari bapaknya. Karena dia yakin ini jalannya.

Dia... dia bernama Aisyah. Dari awal kedatangannya ke Madura bapaknya sudah tidak rela, hanya karena satu sebab. Sebab yang tidak logis menurut Aisyah. Karena tidak lolos bidikmisi. Memang pengumuman bidikmisi telah berlalu, namun bayang-bayang kepedihan yang dirasa Aisyah masih tergambar jelas. Awal ada tekad untuk kuliah, dengan harapan ada bantuan bidikmisi dari kampus. Namun Tuhan menyuruhnya untuk bersabar. Menangis, tidak nafsu makan, diam, hingga ibunya mendekat dan bertanya, “Apakah kamu benar-benar ingin melanjutkan sekolah, Nak?” Aisyah terdiam.

Haruskah aku menentang orang tuaku? Pertanyaan itu selalu berkeliaran di otak Aisyah. Hati dan ego mulai berperang, seakan ada tombak yang siap menusuk dari arah manapun, jika ia salah mengambil langkah. Namun ibunya memahami anaknya, jika diamnya adalah “iya”. Dengan halusnya ibunya berkata “Sudah, Nak, jangan menangis, besok kamu ikut daftar ulang ya!” Hah. Aisyah tertegun sejenak. Uang darimana, Buk? Bapak? Dari paklekmu, kakakmu, dan dari ibuk. Kata bapak tak lagi terucap jika berkaitan tentang perkuliahanku.

Menangis adalah sahabatnya, dan senyum adalah anugerah baginya. Ibunya adalah alasan terbesarnya, kenapa dia punya tekad yang kuat untuk berjuang. Pesan dari beliau hanya satu, apapun yang dilakukan ayahmu, tetaplah hormat padanya. Ayahnya sampai tega lepas tangan dan tak mau membiayai kuliahnya.

Daftar ulang, verifikasi, hingga sampai detik ini ayahnya tidak pernah menelepon atau bahkan menyampaikan salam rindunya lewat ibuknya Aisyah. Durhakakah aku? Berjuang tanpa Ridho ayah, kata Aisyah. Sampai dia bertanya pada kakaknya, apakah adikmu pantas melanjutkan kuliah, Kak? Setiap orang berhak sukses dan kakakmu mendukungmu, terus lakukan yang terbaik, jangan pernah melakukan sesuatu dengan setengah-setengah. Dia kembali bertanya pada pakleknya, “Egoiskah keponakanmu ini, Lek?” Tidak, terus maju, jangan hiraukan bapakmu, kelak dia akan tau pentingnya menuntut ilmu.

Fase-fase kesedihan dengan berjalannya waktu sedikit terabaikan. Ospek, punya teman banyak, tugas kuliah yang membuat luka kemaren terlupakan. Lelah, TIDAK. Tidak ada kata lelah bagi Aisyah. Dia selalu ingat perjuangan ibuknya di rumah demi dia di Madura. Hanya saja, rutinitasnya selama satu bulan sekali terus berjalan. Menangis, yaps menangis. Di setiap uang bulanannya habis, berat lisannya untuk meminta uang pada ibuknya. Malu, menjadi anak yang selalu menjadi beban bagi ibuknya.

Kasih sayang dari ibuknya, terkadang membuatnya lupa akan tugasnya untuk tetap berbakti pada ayahnya. Sesekali dia menelepon ibuknya dan menanyakan kabar ayahnya.

Suara gledek terus bersuara, seakan langit marah pada awan hitam yang selalu menghalangi matahari untuk bersinar di bawahnya. Hari minggu adalah anugrah bagi para mahasiswa untuk menjauh dari tugas. Sama seperti Aisayah, dengan suasana kos di waktu fajar, dia bergegas mengambil air wudhu dan memanjatkan beribu doa dan permohonan yang tak lelah ia panjatkan. Pernah terrlintas dibenaknya bahwa, kapan Tuhan mengabulkan doaku? Kapan Tuhan lelah mengujiku?

Seakan telah habis airmata yang keluar untuk berduaan memohon doa kepada Sang Pencipta. Kapan kudapatkan beasiswa? Kapan kutunjukkan kepada ayah? Bahwa anaknya bisa. Itulah pertanyaan yang selalu diutarakannya kepada Tuhan. Berdoa selesai, dan tak disadarinya dibukanya magic com, dan seperti yang sudah-sudah, nasi habis. Ini merupakan pekerjaan rutinitasnya. Menyapu kamar, membuang sampah, masak lauk dan nasi hingga menatakan tempat tidur teman sekamarnya. Maklum teman Aisyah adalah anak orang berada, yang sudah terbiasa hidup enak dan males-malesan bangun pagi.

Setelah semua pekerjaan selesai, Aisyah merasa kesepian. Diambilnya buku diary miliknya. Karena sahabat terindah Aisyah hanya kepada Tuhan, ibu, dan buku. Braakkk. Ada apa? Kenapa? Ucap Aisyah. Namun, temannya masih terdiam dengan muka judesnya, mungkin lagi bertengkar dengan pacarnya, pikirnya.

Hari demi hari temannya tidak lagi menyapanya. Bagi Aisyah teman adalah segalanya. Namun apa yang bisa diperbuat olehnya. Kalo memang ada yang marah, seharusnya Aisyah bukan dia. Karena Aisyah di kos hanya dianggap babu yang setiap pagi harus bersih-bersih, menyiapkan sarapan untuk temannya. Tapi ya sudah. Gadis pendiam satu kamar dengan gadis cerewet, manja, dan terbiasa dengan hidup glamor.

Perjalanannya belum apa-apa, apalagi pembuktiannya. Belum ada yang bisa ia buktikan. Semester satu akan berlalu. Diawali dengan UAS, di sini ia akan berjuang kembali. Banyak tugas take home yang ia kerjakan. Tapi malangnya nasib Aisyah, laptop pun tak ada. Apalagi laptop untuk HP Android pun Aisyah baru punya saat dia masuk kuliah. Pasti pemberian pakleknya, tidak mungkin dari ayahnya. Ia harus bergantian dengan mbak kos. Pernah sampai ia harus mengerjakan di jam 23.30. Itu hanya satu alasan, disaat mbak kos tidur dan laptopnya nganggur.

Bungkam mulutnya untuk meminta laptop pada ibuk tercinta. Selagi ia masih bisa berjuang sendiri, tidak akan pernah ia ceritakan kesedihan itu pada ibuknya. Suara HP berbunyi. Dibarengi dengan dinginnya siang hari, aku merasa kesepian di kamar kos. Sambil melamun dan menunggu kedatangan teman sekamarku yang tak kunjung datang. Ternyata pesan itu berasal dari Rektor, bahwa ada bidikmisi tambahan. Dengan paketan HP minim, semakin menambah penasaranku. Loading. Dan apa yang terjadi? Diruntutnya daftar nama dari atas sampailah di kelompok PGSD. Dinginnya siang hari karena hujan yang memeluk matahari tiba-tiba terdengar suara isak yang bukan lain itu adalah suara tangisnya. Aisyah tidak lolos bidikmisi tambahan.

Harapan, angan-angan, dan semangat belajarku seakan telah sirna. Hingga terlintas dipikiran, bahwa kapan aku bisa membanggakan orang tuaku? Apakah aku hanya menjadi beban orang tuaku?

“Aisyah, kamu ngapain? Lho ko’ matamu bengkak?” Aisyah berusaha menutupi wajahnya dari Kartika. Kartika adalah mbak kos yang selalu aku mintai bantuan, entah itu masalah pelajaran, laptop, hingga uang. Mbak, aku tidak lolos bidikmisi lagi mbak, ucap Aisyah dengan suara isaknya. Apa yang kukatakan pada ibuk mbak? Aisyah bersabarlah, mungkin ini belum jalanmu, masih banyak rencana Tuhan yang kamu belum tau, yang lebih indah dari ini. Jika aku pulang nanti, maukah ayah bicara denganku mbak? Pasti mau ko’, ucap Kartika dengan nada meyakinkan.

Ditolak bidikmisi dua kali tak pernah menyulutkan semangatnya untuk terus maju. Pengumuman yang begitu menghantam jiwa Aisyah. Namun, duka Desember kemarin tidaklah sepenuhnya menjadi duka. 

Terdengar bunyi telepon dari ibuk. 

“Assalamualaikum, Buk. Bagaimana kabar ibuk? Ada apa ibuk?” 

“Nak, bapakmu mengirimkan uang untukmu. Pakailah uang itu untuk membeli laptop, Nak.” 

Senyum Aisyah kembali.

“Benarkah, Buk?”

“Iya, Nak.” Jawab ibuknya.

Inikah rencana yang disembunyikan Tuhan untukku? Walau ayah belum mau bicara padaku, setidaknya ayah belum lupa padaku. Aisyah baru sadar doa kita pasti dikabulkan oleh-Nya, entah sekarang, nanti, dalam bentuk yang sama atau malah lebih indah. Desember membuatku yakin, bahwa ayah masih menyayangiku. Desember membuatku yakin, bicara dengan ayah lebih indah daripada bidikmisi.


*Penulis Ami Fida, Mahasiswa PGSD Angkatan 2017

1 komentar:

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm