Hukuman
yang mati
Oleh:
Siti Munajah
Panas
matahari kali ini sangat menyengat. Mahfud seorang guru agama di sekolah Aliyah
sedang berada di dalam kantor, saat itu dia sedang duduk di kursinya, karena
kegerahan dia membuka jendela dekat mejanya. Ketika membuka jendela dia melihat
siswa-siswanya memakai peci tanpa alas kaki,
tengah berlarian setelah melaksanakan sholat dzuhur.
Mereka mempercepat gerakannya karena menghindari panasnya lapangan. Siswa-siswa
itu mengingatkan mahfud ketika masih menjadi seorang santri di pondok
pesantren. Mahfud terhanyut oleh lamunannya.
***
“Ah
ini kembar sama sandalku yang hilang kemarin” kata Mahfud saat berada di latar
masjid, setelah melakukan sholat berjamaah. Setelah itu larilah Mahfud menuju kelasnya,
selang waktu 30 menit teman-teman sudah memenuhi bangku kelas yang tadinya
hanya berisi Mahfud seorang diri. Teman sebangku Mahfud menatap kakinya.
“Fud sandalmu udah
ketemu?” kata Anas teman sebangkunya sambil menatap ke kaki Mahfud.
“Ini bukan sandalku nas aku tau rasanya
sandalku, ini sandal santri lain mirip punyaku jadi aku ambil,”
Mahfud berbisik di telinga Anas karena takut kedengaran santri lain.
Anas kaget "Kamu ngawur fud, tadi
kiyai said kehilangan sandal
kuwatirnya sandal yang kamu ambil milik pak kiyai"
Mahfud kaget,
"matilah
aku pak yai pasti tau aku pencurinya".
"Pak yai itu bisa menerawang siapa
pencurinya matilah kau fud, apalagi setelah ini pelajaran pak yai."
jawab Anas.
Salam pak yai menghentikan percakapan
Mahfud dan anas.
"Assalamu'alaikum wr.wb." Pak
yai sambil duduk di atas kursi guru.
Mahfud langsung melihat telapak kaki pak
yai. Kemudian dia berbisik di Anas "Nas pak yai tidak beralas kaki."
"Kamu sembunyikan kaki mu ke dalam
jangan sampai ketahuan." Anas dengan suara yang kecil mengatakan itu.
Santri yang ada di bangku terdepan
bertanya "yai itu kenapa sandalnya hanya diletakkan di atas meja sedangkan
pak yai tidak beralas kaki".
"Ini mau ngasih sandal ke mahfud."
Kiyai menuju bangku Mahfud meletakkan yang baru dan masih tertempel nomer
ukurannya.
Mahfud
hanya tertunduk untuk bilang terimakasih rasanya sangat malu. Tapi karena tidak
kuat menahan rasa bersalah Mahfud maju ke bangku pak yai dan menangis dengan
mengembalikan sandal curiannya serta sandal pemberian pak yai. Desak tangis
Mahfud menggelegar di ruang kelas.
"yai, maafkan aku telah mengambil
yang bukan hak milikku, aku mengaku bersalah dan ini aku kembalikan sandal pak
yai serta sandal baru ini aku tidak pantas mendapatkannya," kata Mahfud
sambil menangis.
"Sudah jangan menangis Mahfud,
sandal baru ini sudah jadi hak
milikmu untuk sandal lama pak kiyai terimakasih sudah berani mengakuinya bapak
kagum sama Mahfud," sambil merangkul Mahfud dan mengusap air mata Mahfud.
"Aku rela di hukum apa saja untuk
menebus dosa ku pak yai."
"Tidak usah, cita-cita mu besok
ingin jadi apa?" Tanya pak kiyai.
"Aku ingin jadi seperti pak yai,"
jawab Mahfud dengan bercampur suara tangisannya.
***
Lamunan
Mahfud terhenti, dia tersenyum mengingat kejadian itu. Tidak menyangka
perkataannya ingin menjadi seperti kiyai menjadi kenyataan, membawanya menjadi
pengajar walau saat ini bukan di pondok tapi di sekolahan madrasah Aliyah
sekitar kampungnya. Mahfud kembali duduk di bangkunya dan melanjutkan menilai
hasil pekerjaan para murid.
Cara pengajaran di pondoknya dulu menjadi
tauladan Mahfud ketika menjadi guru. Dia akan memukul jari-jari murid-muridnya
menggunakan stik drumband jika kukunya tidak di potong, dia akan menyuruh
muridnya naik turun tangga jika tidak mengerjakan tugas sekolah dan masih
banyak lagi. Mahfud tidak pernah
menghukum tanpa kejelasan. Selalu ada sebab yang jelas dalam pemberian hukuman
pada murid-muridnya.
Tapi
kali ini berbeda, ada wali murid yang datang ke sekolah marah-marah mencarinya.
Wali murid itu menggunakan seragam polisi, dia datang membawa rombongan
berjaket kulit dengan membawa map coklat beserta borgol yang di gantung di
salah satu celana orang berjaket kulit.
"Dimana yang namanya pak Mahfud
", wali murid yang masih berseragam
polisi berteriak-teriak di kantor guru.
Kepala sekolah menemui wali murid
tersebut "tenang pak, ada
apa ini ?" sambil mempersilahkan wali murid itu beserta rombongannya untuk
duduk dulu menjelaskan perihal apa yang terjadi.
"Mahfud dimana?" Tanya wali
murid pada kepala sekolah.
"Mahfud mengajar pak. Anda jelaskan
dulu kepada saya apa yang terjadi?" Jawab kepala sekolah.
"Mahfud telah menampar anak saya
pak" dia memberikan ponselnya ke kepala sekolah agar kepala sekolah
melihat foto pipi anaknya setelah ditampar Mahfud.
"Mahfud bukan guru yang sembarangan
dalam menghukum siswanya pasti ada akibat yang belum Anda ketahui pak"
balas pak kepala sekolah.
Salah
satu rombongan berjaket kulit menjawab pernyataan pak kepala sekolah "Hari
ini kita sudah membawa surat penangkapan untuk pak Mahfud untuk penjelasan
sebab pak Mahfud menampar bisa dijelaskan di kantor polisi".
Berdirilah pak kepala sekolah dari
bangkunya mengajak rombongan menemui Mahfud "Mari saya antar ke pak
Mahfud".
Setelah
berada di depan kelas kepala sekolah tidak mengizinkan rombongan polisi untuk masuk ke dalam kelas,
karena kepala sekolah khawatir seluruh murid
berfikir yang tidak-tidak.
Pintu diketuk oleh kepala sekolah Tok
tok tok " Assalamu'alaikum Pak Mahfud ini saya pak Arif".
"Masuk pak" balas Mahfud.
Pak kepala sekolah menanyai dengan
berbisik pelan ke Mahfud "Kamu di cari polisi gara-gara menampar Doni, aku
tau pasti kamu punya alasan melakukan itu".
Mahfud
menjawab "Doni kemarin aku tampar karena telah meraba-raba teman
perempuannya dengan berkata jorok tanganku sengaja menampar pipi Doni" Kepala sekolah mempercayai apa
yang dikatakan Mahfud karena Mahfud sudah menjadi guru selama 10 tahun di
sekolahnya jadi, dia sangat mempercayai Mahfud. Dibawalah Mahfud oleh
segerombolan orang berjaket kulit dengan diborgol tangannya dan digiring oleh
wali murid berseragam polisi. Karena ayah Doni berpangkat tinggi dalam kepolisian, meskipun Doni bersalah Mahfud
tetap dipenjarakan. Berakhirlah Mahfud dijeruji sedangkan Doni masih tetap
bertingkah semaunya.
Kepala
sekolah yang sedang di dalam kantor melihat Doni dari balik jedela dia teringat
Mahfud yang ada di dalam jeruji penjara. Saat pak kepala sekolah meyaksikan
Doni yang tengah mengikuti pelajaran olahraga saat itu pak kepala sekola
melihat Doni menjaili anak perempuan.
"Kembalikan jilbabku Doni" dia
menangis sambil menutupi wajahnya.
"Hahaha itu rambut apa sapu ijuk
hahah" balas Doni dengan tertawa terbahak-bahak mempermalukan rambut si
anak perempuan itu.
Pak
kepala sekolah yang dari tadi menyaksikan kelakuan Doni tidak kuat beranjak
berdiri mau menjewer Doni tapi dia menghentikan langkahnya, mengingat takut
akan berakhir di jeruji. Dia menutup tirai jendela dan mengabaikan kejahilan
Doni.