Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Jumat, 13 Januari 2023

BAPAK BAHIR


Ilustrasi @Lpmsinar22

Pandemi Covid-19, pandemi yang berhasil mengejutkan Indonesia dan seluruh dunia beberapa tahun yang lalu. Pandemi yang merenggut ratusan ribu jiwa, dan bahkan berhasil memporak-porandakan perekonomian hingga pendidikan Indonesia. Namun ketika mendengar kata covid-19, bukan itu semua yang aku ingat. Ada satu hal yang baru aku ingat beberapa hari yang lalu saat bercerita dengan paman mengenai masa lalu, yaitu sebuah kenangan yang sangat berharga. Cerita ini hanya tentang perjuangan Bapak—beliau yang sudah tiada tiga tahun yang lalu karena penyakit paru-parunya.

Solo, tahun 2020, saat itu tidak sepadat dan seramai saat ini, dulu masih satu dua bangunan besar yang dibangun, namun sekarang hampir setiap tempat dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Tahun itu, sekitar pertengahan bulan maret—Aku lupa tanggal berapa dan hari apa—yang pasti umurku masih 14 tahun, saat itu Aku dan Bapak masih tinggal di gubuk kecil.

Tahun 2020, kehidupanku belum senyaman saat ini. Namun namaku tentu masih sama. Bapak memberiku nama Bahir, yang artinya bersinar. Mungkin beliau memang ingin Aku menjadi orang yang seperti itu. Hingga hari ini Aku mampu menebus semua perjuangan Bapak, perjuangan beliau untuk menjadikanku seorang guru.

Cerita ini bermula saat pandemi Covid-19 memaksa kami untuk berjuang lebih keras.

***

Solo, 2020

Bahir berlari tergesa-gesa melewati persawahan yang becek. Kaki dan celana birunya sudah dipenuhi lumpur saat ia sampai di halaman depan gubuknya. Untung saja ia sempat melepas sepatunya, karena jika tidak siap-siap saja ia terkena omelan dari Bapaknya.

“Bapak!” teriak Bahir keras dengan harapan bapaknya segera datang. Dan benar saja, sang bapak langsung datang terburu-buru dengan sarung masih di atas lutut.

“Ada apa, le?” Tanya Abdul—bapak bocah laki-laki itu.

“Kapan bapak akan membelikanku Handphone? Sudah dari 1 tahun yang lalu Bapak mengiyakan, namun sampai hari tidak juga dibelikan” Ucap Bahir panjang kali lebar mengungkapkan keluh kesahnya. 

Abdul tersenyum tipis “Bapak lagi nggak ada uang le, pandemi ini membuat langganan becak bapak sepi”

Raut wajah Bahir berubah murung “Terus Bahir sekolah online besok gimana pak?”

Abdul mengusap puncak kepala Bahir lembut. Tidak tega juga sebenarnya ia melihat anaknya harus kesulitan sekolah karena tidak memiliki alat belajar yang memadai di rumah. Namun apalah daya, memang beginilah keadaannya sekarang, untuk makan sehari-hari saja hampir tidak pernah cukup. Hidup mereka secari awal sudah susah, namun pandemi ini membuat keadaan mereka menjadi lebih susah dan memaksa mereka mau tidak mau bekerja lebih keras dari orang lain.

“Nanti bapak akan usahakan, le! Nanti bapak akan coba tanyakan ke kampung sebelah apakah ada komputer yang bisa dipinjam dengan harga murah

Itulah kalimat terakhir dari Abdul sebelum pergi dan masuk kembali ke dalam gubuk. Bahir menatap punggung bungkuk Bapaknya dengan mata berkaca-kaca. Ia mendadak merasa bersalah, hatinya tiba-tiba sakit mengingat sorot mata teduh Bapaknya saat mengatakan bahwa beliau akan mengusahakan semuanya.

Pagi itu, sekitar pukul 3 dini hari, saat Bahir masih tertidur lelap di kamarnya. Abdul diam-diam pergi ke kampung sebelah dengan menggunakan sepeda onthel tua miliknya. Jalanan masih gelap dan sepi. Abdul merapatkan sarung yang melilit tubuhnya karena udara yang begitu dingin berhasil membuat tubuhnya menggigil. Namun ia harus tetap bersabar, karena jarak kampungnya dan tempat tujuannya sangat jauh, yaitu kurang lebih 3 km.

Sepeda onthel Abdul berhenti, matanya menatap sekeliling bangunan bercat hijau di depannya. Masih ada tulisan close di pintunya. Abdul memutuskan untuk menunggu, ia duduk di kursi depan pintu sambil menyandarkan kepalanya. Namun kantuknya datang tiba-tiba.

“Permisi, pak!”

Abdul seketika tersadar dari tidurnya saat sebuah tangan menepuk-nepuk pundaknya.

“Eh iya mas, maaf ya saya ketiduran disini” ucap Abdul.

“Iya tidak apa-apa pak, monggo masuk dulu ke dalam, diluar dingin” Seorang pemuda berkaos putih dengan sopan mempersilahkan Abdul masuk.

Abdul duduk di kursi sambil tidak berhenti menatap sekeliling dengan takjub. Tidak seperti gubuk kecilnya, ruangan yang saat ini ia tempati sangat bagus dan modern. Terdapat sekitar dua puluh komputer yang berjajar rapi layaknya warnet-warnet biasanya.

“Ada keperluan apa ya, pak?”

Abdul menelan ludah, sedikit ragu ingin bertanya.

“Untuk menyewa komputer disini berapa ya mas?” Tanya Abdul.

“1 jam nya 3 ribu pak, kalau untuk 1 hari full 60 ribu”

Abdul terdiam, menghitung-hitung penghasilan yang ia dapatkan dari menarik becak. Nihil, hasilnya tetap tidak cukup. Semenjak pandemi, satu hari saja terkadang ia hanya mendapatkan uang 3 ribu dan bahkan terkadang tidak mendapatkan penumpang sama sekali.

“Disini buka lowongan pekerjaan nggak mas? Pekerjaan apapun nggak masalah” Abdul tidak bisa menyerah begitu saja.

“Oh iya ada pak, kebetulan teman saya yang biasanya bagian bersih-bersih sedang izin cuti satu bulan”

Senyum Abdul merekah “Kira-kira gajinya berapa ya, mas?”

“Kalau itu....biasanya hanya 20 sampai 25 ribu-an perhari pak. Itu pun kami tidak bisa setiap hari memberi, soalnya terkadang sepi pelanggan. Yakin bapak mau?” Tanya Ahmad. Ragu jika Abdul mau menerima pekerjaan dengan gaji yang terbilang sangat sedikit. Namun siapa sangka, Abdul justru mengangguk keras.

“Mau banget, Mas. Tapi boleh nggak anak saya pakai satu komputernya? Potong gaji saya enggak apa-apa deh, Mas”

“Boleh, Pak. Nanti saya potong sesuai dengan waktu anak bapak memakai komputernya saja. Bapak bisa mulai datang besok”

Senyum Abdul semakin mengembang “Matur nuwun ya, Mas”

sami sami, Pak”

Abdul segera mengayuh sepeda onthel-nya dengan cepat. Tidak peduli dengan kakinya yang mulai lelah dan perutnya yang sedari tadi keroncongan, ia terus mengayuh sepedanya dengan semangat . Ia hanya ingin secepatnya sampai ke gubuk untuk menyampaikan kabar baik ini kepada sang anak.

Le, le! Bapak pulang!” Teriak Abdul saat baru saja memarkirkan sepeda onthel-nya. Bahir yang mendengar teriakan bapaknya segera berlari keluar.

“Bapak dari mana, toh? Kok pergi pagi-pagi nggak pamit ke Bahir? Bapak habis narik?” Bahir langsung memberondong sang bapak dengan banyak pertanyaan.

Abdul mengusap lembut puncak kepala Bahir “Bapak udah dapat sewaan komputer, le! Besok ayo pergi kesana sama-sama”

Bahir membelalak. “Hah? Benar pak?”

Abdul mengangguk. Ikut senang melihat raut wajah bahagia anaknya.

“Tapi uangnya gimana, Pak? Bapak besok harus narik becak juga kan?”

Abdul menggeleng pelan, “Sudah jangan dipikirin, itu biar bapak yang urus! Yang penting kamu sekolahnya yang rajin, katanya kamu ingin jadi guru?”

Bahir mengangguk semangat, senyumnya merekah sempurna. Rasa takut dan khawatir yang semula menyelimuti hatinya, kini menghilang seketika. Ia menatap bapaknya dengan lekat, kemudian tanpa ragu ia memeluk bapaknya dengan erat.

“Makasih banyak, Pak! Makasih banyak! Bahir janji akan sekolah yang rajin, supaya bisa jadi guru dan bisa bawa bapak hidup nyaman dan enak, biar bapak juga tidak usah narik becak lagi. Bahir janji, Pak!” Ucap Bahir lirih dengan mata mulai berkaca-kaca. Hanya kalimat itu yang bisa ia berikan untuk bapaknya saat ini.

Keesokan harinya, mereka berangkat kesana menggunakan sepeda onthel. Bahir akhirnya bisa sekolah seperti biasanya dengan bantuan komputer sewaan disana. Ia berusaha belajar dengan giat agar tidak mengecewakan bapaknya. Namun, dia tak tahu apa yang dilakukan bapaknya disana kala itu. Tak peduli lelah dan letih, serta kantuk karena kurang tidur, Abdul terus bersih-bersih di ruangan samping tempat Bahir berada. Bahkan saat debu membuat asmanya kambuh atau sakit punggungnya yang semakin parah.

Tahun ini, dibalik kerasnya kehidupan sebab pandemi Covid-19, Bahir justru mendapatkan hadiah dan pelajaran istimewa dan paling berharga dalam hidupnya, yakni perjuangan bapaknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm