Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Senin, 13 Februari 2017

Ever Lasting Friend




Cerpen Aisyah (LPM Sinar, 13 Februari 2017)


Di penghujung hari, aku berdiri di depan jendela kamarku yang sengaja kubuka sembari memandang bintang yang tidak pernah lelah menghias malam. Saat ini pukul 11.35 pm, tetapi mataku belum juga terpejam. Terlalu banyak masalah yang sedang memenuhi pikiranku. Ada saja masalah yang terjadi dalam hidupku ini. Padahal, aku ingin sehari saja hidup tanpa masalah. Namun, aku hanya manusia biasa yang memiliki sekadar keinginan. Aku hanya bisa berdoa, dan Tuhan-lah yang menentukannya.Pukul 01.45 am, aku mulai menguap. Aku pun memutuskan untuk tidur. Kututup jendela kamar terlebih dulu, lalu kurebahkan badan di atas kasur. Selang beberapa menit, aku pun terbuai dalam mimpi.
Beberapa jam kemudian....
Aku terbangun karena handphone-ku berdering, menganggu tidurku. Tampak nama di layar handphone yang berkedip, “Amel is calling....”
Jam masih menunjukkan pukul 03.00 am, ada apa sahabatku menelepon sepagi ini? Dia tidak mungkin telpon di pagi buta seperti ini, kalau tak ada kepentingan mendesak. Aku memutuskan untuk mengangkatnya.
“Sil, ini benar-benar gawat!” Serunya di seberang sana. Dari suaranya, aku tahu dia sedang menghadapi masalah besar.
“Kenapa... Kenapa?” Tanyaku panik.
“Sil... Sila...,” dia tidak bisa berbicara dengan baik, karena napasnya tersengal-sengal.
“Tarik napas panjang.... Lalu embuskan, tenangkan dirimu, bicara pelan-pelan,” aku memberinya saran, atau bisa disebut sebagai intruksi. Aku mendengar dia mengikuti intruksiku. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Tenang sejenak, beberapa saat kemudian, dia mulai berbicara dengan pelan-pelan.
“Laporan dan data penelitian ilmiah kita hilang!”
Deg... Kenapa bisa hilang? Yang benar saja laporan itu telah kubuat dengan susah payah. Dan serang semuanya hilang begitu saja. Aku sebenarnya marah, karena dia tidak bisa menjaganya dengan baik. Akan tetapi, aku mencoba menahan amarahku dan bertanya, “Kenapa bisa terjadi?”
“Aku enggak tau, Sil, semuanya hilang gitu aja!” Jawabnya.
“Ya udah, nanti kita cari tau. Kalau tidak, kita buat lagi.
“Sil, maafin aku, aku ga bisa jaga sesuatu yang sudah kita buat susah payah.” Ucapnya dengan penuh penyesalan.
“Udah, engga apa-apa,” kataku pasrah.
Aku berangkat ke sekolah dengan malas. Aku begitu berantakan. Kulit kusam, mata berkantung hitam, seperti panda. Ini terjadi karena aku kurang tidur. Aku hanya tidur 1 jam lebih 15 menit. Setelah Amel menelepon, aku tidak bisa tidur lagi karena memikirkan masalah hilangnya data penelitian itu.
Di koridor kelas, aku bertemu dengan Amel. Wajahnya tidak lebih baik dari aku. Saat bertemu denganku, dia kembali menunjukkan penyesalannya. Aku lihat, dia benar-benar menyesal begitu ceroboh. Sebenarnya, ini bukan murni kesalahannya. Ini juga salahku. Kesalahan kami bersama. Kami tidak menjaga dengan baik sesuatu yang penting ini. Aku mencoba menenangkannya, dan menjelaskan kalau semua ini bukan murni salahnya. Perlahan-lahan, dia mulai membaik dan tenang. Setelah benar-benar tenang, aku mengajaknya pergi ke kelas bersama.
Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan Rama, seseorang yang minggu kemarin menyatakan cintanya padaku, tapi aku menolaknya. Aku memiliki segudang alasan kenapa aku menolaknya. Tapi, alasan utamanya adalah, aku tidak memiliki perasaan lebih padanya selain sebagai teman satu sekolah.
Sikap Rama begitu dingin padaku. Mungkin dia tidak terima karena aku menolaknya. Selama ini dia memang terkenal sebagai prince charming yang tidak pernah ditolak cewek. Jadi, kalau dia besikap dingin padaku, ini tidak terlalu aneh. Akan tetapi, ada sesuatu yang menurutku sangat aneh. Rama tersenyum dengan manis, tapi terkesan tidak iklas pada gadis di sampingku, Amelia. Amel membalasnya dengan senyum manis yang ceria. Biasanya Rama tidak pernah bersikap seperti ini pada Amel, Melihat saja kadang ogah-ogahan.
“Pagi mel...” sapa Rama, dia bahkan menyapa Amel.
“Pagi juga, Rama,” Amel membalas sapaan Rama.
Aku menyikut lengan Amel dan menanyakan perihal keanehan Rama. Aku bertanya setelah Rama pergi tentunya. Mana mungkin aku berani jika Rama masih ada di depanku. Dia menjawab pertanyaanku dengan ketus.
“Memang salah dia menyapaku? Aneh?” Tanya Amel judes.
Setelah menjawab pertanyaanku dengan nada yang tidak mengenakkan itu, Amel langsung meninggalkanku. Dia benar-benar aneh. Tadi raut wajahnya penuh rasa penyesalan, tapi sekarang dia lebih terlihat marah dan sebal. Dia marah padaku di kelas. Amel bersikap cuek, berbeda 180 derajat dari tadi pagi. Berkali-kali aku membuatnya tersenyum dan mau berbicara padaku. Namun, hasilnya nihil. Aku lelah untuk membujuknya lagi.
Siang harinya, sepulang sekolah, aku menemui Bu Fatma, pembina Ekstrakurikuler KTI. Aku datang tanpa Amel. Dia langsung menghilang, sesaat setelah bel panjang berbunyi. Aku datang menemui beliau, meminta perpanjangan waktu, untuk menyelesaikan laporan dan data penelitian. Seharusnya, hari ini sudah dikumpulkan.
“Tunggu di sini, sebentar lagi Bu Fatma akan datang!” Ucap salah seorang guru yang juga mengajar di kelasku, namanya Bu Diana.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Ya, Naysila...?” Orang yang aku tunggu telah datang dan menyapaku.
Aku pun menjelaskan maksud kedatangan, menemui Bu Fatma. Beliau mendengarkan dengan baik. Tak lama kemudian, Bu Fatma setuju untuk memberi tenggang waktu. Akan tetapi, hanya dua hari yang beliau berikan untuk kelompokku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang diberikan oleh Bu Fatma.
“Terima kasih, Bu, sekali lagi terima kasih,” ucapku pada Bu Fatma, beliau tersenyum lembut.
Berulang kali aku menelpon Amel, tetapi dia tidak mengangkatnya. Dia sungguh aneh. Aku harus ke rumahnya untuk mengerjakan tugas bersama. Aku pun ke rumah sahabatku itu dengan mengayuh sepeda merah muda kesayangan.
Ada pemandangan cukup menarik saat aku tiba di dekat rumah Amel. Amel keluar dari sebuah mobil mewah berwarna merah metalik. Di sekolahku, orang yang memiliki mobil merah itu hanyalah Rama. Aku semakin yakin saat itu melihat Rama keluar dari mobil itu dan berbicara pada Amel. Bagaimana mereka bisa sedekat ini? Sungguh aneh dan cukup menarik perhatian. Cukup menarik juga untuk diselidiki, karena pasti ada “sesuatu” dibalik semua ini.
Setelah Rama dan mobilnya itu pergi, aku mendekati Amel. Aku pura-pura tidak melihat dia datang bersama Rama. Aku tidak mempedulikannya.
Hai, Mel, kamu kok ga angkat telponku?” Tanyaku pada Amel.
Emm.. Aku nggak bawa handphone!” Jawabnya, terdengar kaku.
“Ada kabar bagus buat kita,” ucapku mencoba ceria.
“Apa?” Tanya-nya lagi.
Aku menceritakan kabar bahagia tersebut, kesempatan kedua dari Bu Fatma. Dia juga terlihat senang, dan mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Setelah sampai di ruang tamu, dia mempersilahkanku duduk. Sementara dia mengambil minuman untukku, aku mempersiapkan beberapa bahan yang diperlukan.
“Ini, Sil, minumnya....” Tawar Amel.
“Makasih,” ucapku berterima kasih.
Aku langsung meneguk jus jeruk yang dibuat oleh Amel. Tenggorokanku yang sangat kering, terasa sejuk saat air jus itu melewatinya. Sedari tadi aku memang haus. Maklumlah, aku mengayuh sepeda dari rumahku ke rumah Amel yang jaraknya cukup jauh.
“Kita mulai dari mana, ya?” Tanyaku. Amel hanya diam, dia malah terlihat melamun. Aku tidak bisa membaca pikirannya kali ini, belakangan ini dia memang bersikap aneh.
“Amel..., halo….” Aku mengibas-ibaskan tanganku di depan wajahnya untuk menyadarkan dia dari melamunnya.
“Eh, iya, Sil... a apa?” Tanya Amel padaku dengan gugup. Seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruknya.
“Mel, apa kamu punya sesuatu yang disembunyikan dariku?” Entah mengapa aku bisa bertanya seperti itu pada Amel.
“Enggak!” Jawabnya singkat dan terlihat tidak wajar. Dia memang jarang berbicara singkat padaku. Akan tetapi, aku berusaha untuk tidak mempersalahkannya.
“Emm, baiklah, mari kita lanjutkan!
Aku dan Amel berkolaborasi menyusun laporan dan beberapa data yang telah hilang.

***
Hari ini adalah hari saat aku dan Amel, serta kelompok lainnya, mempresentasikan hasil penelitian. Jantungku berdegub lebih kencang daripada biasanya. Aku merasa laporan dan data yang telah kelompokku buat tak sebaik data pertama yang telah hilang. Banyak sekali kekurangan, karena waktu yang kami miliki sangat terbatas. Hanya dua hari, sedangkan data yang hilang itu membutuhkan waktu sebulan.
Kelompok yang mendapatkan kesempatan pertama untuk presentasi adalah kelompok Rama. Rama maju ke depan, dia terlihat percaya diri saat memasukkan flashdisk-nya ke dalam laptop milik sekolah, lalu membuka slide power point milik kelompoknya, tentu saja.
Namun, aku melihat ada keanehan pada slide yang mereka tampilkan. Isinya aneh, aku sangat mengenali data yang mereka presentasikan. Data yang mereka tampilkan sama persis seperti milik kelompokku yang hilang. Tentu saja aku sangat tidak terima.
Ternyata Rama yang telah mencuri data kelompokku. Kukepalkan tanganku, geram. Aku ingin sekali melampiaskan amarahku pada orang itu. Akan tetapi, aku tidak mungkin melakukannya, aku harus menahan amarah. Aku terus menatap Rama tajam saat dia mempresentasikan data yang bukan miliknya itu. Saat presentasinya berakhir, semua orang yang ada di ruangan itu memberi tepuk tangan yang meriah. Rama tersenyum dengan bangganya, begitu juga kelompoknya. Dua orang itu sama saja.
Kini, tiba saatnya aku dan Amel mempresentasikan hasil kerja kami. Aku harus yakin, presentasi ini berjalan dengan lancar, walaupun temanya sama dengan data Rama.
Selama presentasi berlangsung, semua orang yang berada di hadapanku menatap tajam seolah mempertanyakan “Kenapa sama?”. Dalam hal ini mereka kira aku yang salah. Padahal, seharusnya bukan aku yang salah, tapi Rama.
Kendati demikian, presentasi tetap berjalan dengan lancar. Meskipun tidak ada tepuk tangan yang meriah saat aku dan Amel mengakhiri presentasi kami. Semua kelompok sudah menyelesaikan presentasi mereka. Suasana ruangan untuk peserta menjadi sepi, hanya ada aku dan Rama. Rama masih sibuk memasukkan peralatannya ke dalam tas, saat itulah aku datang menghampirinya.
Ehm.... Pake cara apa tuh ngambil datanya?” Tanyaku pada Rama. Rama mendongakkan kepalanya untuk melihatku. Posisinya sekarang duduk, sedangkan aku berdiri.
“Cara yang tidak pernah terlintas sedikit pun di otakmu!
Aku memutar otak, tapi aku aku tidak paham dengan jawabannya.
“Maksudmu?”
“Tanyakan saja pada sahabatmu!” Jawabnya lagi. Dia menggendong tasnya, lalu berdiri sebelum akhirnya dia pergi.
“Oh ya, satu lagi. Aku ga nyuri data kamu, aku cuma minta,” tambahnya sebelum dia pergi.
Keluar dari ruangan itu, aku langsung menemui Amel di kelas. Dan aku menanyakan perihal data penelitian. Aku bertanya tanpa pikir panjang karena terbawa emosi.
“Kamu yang ngasih data itu ke Rama?” Tanyaku tanpa basa-basi. Amel tidak menjawab pertanyaanku.
“Data itu ga hilang kan?”
“Kamu nuduh aku?” Jawab Amel balik bertanya.
“Aku nanya bukan nuduh. Atau mungkin, kamu yang merasa tertudu!”
Amel mengeluarkan beberapa kalimat yang berisi pembelaannya, entah kenapa dia bersikeras untuk tidak mengakuinya. Padahal, aku sudah tahu kalau memang dia berbohong. Aku bukan begitu saja mempercayai orang lain daripada sahabatku. Akan tetapi, bahasa tubuh Amel mengatakan begitu. Dia berbohong.
“Baiklah, kalau kamu ga mau mengakuinya. Aku udah tau kok, aku cuma pengen kamu jujur, jika kamu masih menganggapku sahabatmu,” aku pasrah.
“Iya, memang aku melakukannya,” ucap Amel setelah lama membisu.
“Tapi, kenapa?”
An interesting offer...”
“Maksudnya?” Tanyaku tidak mengerti.
“Kamu tau, aku sudah lama menyukai Rama, tapi Rama menyukaimu. Sebenarnya bukan hanya Rama, orang yang menyukaimu sebelumnya juga begitu. Aku menyukai mereka, tapi mereka menyukaimu! Aku lelah!” Ungkapnya panjang lebar dengan genangan air di kelopak matanya.
“Hari itu, ada tawaran menarik dan bodoh dari Rama. Dia mau menuruti apa mauku, asalkan aku bersedia memberikan data-data itu padanya. Aku menerimanya begitu saja, seperti terhipnotis!” Jelasnya lagi, kali ini dengan air mata begitu deras mengalir.
“Aku lega, ternyata kamu masih menganggapku sahabatmu. Kamu sudah berkata jujur....” Ucapku lantas memeluknya, pelukan sahabat.
 “Maafkan aku, Sil, aku sudah mengecewakanmu. Menghapus mimpimu untuk ikut lomba Karya Ilmiah Remaja tahun ini.”
“Sudahlah, ada datapun belum tentu lolos.

***

Hari pengumuman kelompok pemenang telah tiba. Kelompok yang akan mengikuti lomba KIR mewakili sekolah!

Semua menunggu dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Mereka semua ingin terpilih, tetapi hanya satu pasangan yang berhak ikut.
“Saya umumkan kelompok yang mewakili sekolah adalah....” Bu Fatma sengaja menggantungkan kalimatnya.
“Kelompok Naysila dan Amelia!” Lanjut Bu Fatma.
“Selamat untuk Sila dan Amel, yang lain jangan kecewa karena masih banyak kesempatan lainnya….
Semua orang yang ada di ruangan tersebut memberi selamat kepadaku dan Amel. Akan tetapi, itu tidak termasuk Rama. Rama pergi sesaat setelah pengumuman. Dia terlihat begitu kecewa. Ya, dia sangat menginginkan kesempatan ini. Tetapi dia telah berbuat curang. Mungkin itu juga buah dari kecurangannya. Curang belum tentu menang.

***

Aku berbaring di atas rerumputan taman belakang bersama Amel. Malam ini, Amel menginap di rumahku. Kami berdua tengah menatap bintang. Beberapa hari terakhir, kami mendapat banyak masalah.
“Kau tau kenapa kita menang?” Tanyaku pada Amel yang tampak tersenyum menatap langit. Dia sudah kembali menjadi sahabatku yang seperti biasanya.
“Karena kita memang ditakdirkan menang.” Jawab Amel tersenyum, “sekali lagi, aku minta maaf atas kebodohanku,” ungkitnya lagi dengan penyesalan.
“Sudahlah, yang penting jangan duilangi dan kita ambil hikmahnya.
Amel tersenyum padaku, aku pun juga tersenyum padanya. Suasana mulai hening, dan kami pun terhanyut dengan suasana malam.
“Kamu tau engga? Ternyata Rama ceroboh sekali. Masa kata Bu Fatma dia lupa mengganti nama kita di data yang dia kumpulkan,” kataku membuka pembicaraan lagi.
“Yang benar?” Tanya Amel tidak percaya.
Iya beneran, maka dari itu Bu Fatma curiga, dan kecurigaannya terbukti. Ya.... Rama ngaku kalau data itu bukan miliknya.” Jawabku dengan senyum agak lebar.
“Bodoh sekali dia, sudah susah payah membujukku untuk memberi data itu, eh, tenyata dia malah ceroboh gitu!serunya.
“Buah dari kecurangan!” Kataku.
Langit malam menjadi saksi kebahagiaanku. Bintang di langit tersenyum melihat aku dan sahabatku Amelia saling menyatu setelah sebuah masalah menerjang kami. Setelah masalah itu selesai, aku merasa kami memang ditakdirkan untuk bersahabat. Walaupun diterjang masalah, kami tetap menyatu. Dan setelah menyelesaikan masalah, kami menjadi semakin kuat.
Tetaplah menjadi sahabatku wahai “Amelia Hutama”.
Read more ...

Jumat, 10 Februari 2017

Bunga Api



Cerpen Ria Anggarawati (LPM Sinar, 10 Februari 2017)


Sore itu ayah tak membalas pesan singkatku. Tak mengangkat telepon dari ku atau menghubungiku kembali. Aku tak khawatir, karena ayah memang selalu begitu. Hanya kesal, mengapa ayah harus begitu.
“Halo,” pada panggilan ke dua puluh ayah akhirnya mengangkat telepon.
“Ayah!” Aku berteriak antusias. Dari balik telepon wajahku berseri. Sudah lama aku tak mendengar suaranya.
Terakhir kali kami mengobrol adalah saat aku bilang akan ikut lomba melukis, tepatnya tiga bulan yang lalu. Kuminta pada ayah untuk datang melihat pameran, namun ia tak datang. Tak pernah datang saat aku memintanya untuk datang. Kami tak pernah bertemu semenjak dua tahun terakhir –saat aku diangkat anak oleh bude, saudara perempuan ayah– lepas merayakan tahun baru bersama.
“Kenapa, Nduk? Maaf ayah tak mengangkat telepon. Ayah sibuk,” jawab ayah datar.
“Ayah dimana? Khurbi ingin ketemu,” kataku penuh harap.
“Masih di gresik, Nduk, maaf belum bisa bertemu.”
“Yah, Khurbi mau buat pameran lukisan, Ayah datang, ya. Nanti sekalian ngerayain tahun baruan sama-sama,” ucapku penuh harap. Berharap kali ini memang dapat bertemu dengan ayah, laki-laki yang paling kusayang di dunia.
"Iya, insya Allah Desember nanti kita rayakan sama-sama, Nduk. Ayah pasti datang di pameranmu.”
Sore itu aku membuat kesepakatan dengan ayah. Jika Ayah tak menepati janjinya aku tak akan pernah mau menghubungi ayah kembali.
Desember ini aku memang berencana membuat sebuah pameran lukisan. Beberapa lukisan yang telah kubuat selama satu tahun terakhir. Tentang banyak hal, dan yang pasti tentang Ayah. Laki-laki itu suka melihatku melukis.
Sejak kecil aku memang hanya tinggal dengan ayah. Aku sering menghabiskan sore hari di taman untuk melukis senja bersama ayah. Beliau mengajariku bayak hal tentang melukis.
Ayah punya satu mimpi besar dalam hidup nya. “Khurbi kalau sudah besar harus bisa buat pameran lukisan. Lukisan nya Khurbi bagus, sayang kalau cuma disimpan di rumah,” katanya di suatu sore sembari mengelus rambutku. Ayah dan aku selalu memiliki agenda rutin ditiap akhir tahun. Di bulan Desember pada malam pergantian tahun kami selalu menghabiskan waktu berdua. Melukis bunga api.
Aku pernah bertanya di salah satu Desember pada Ayah, “Kenapa harus melukis bunga api, Yah? Khurbi ingin menyalakan nya saja, seperti teman-teman lain.”
Lalu dengan senyuman yang penuh ketenangan ayah menjawab, “Supaya bunga api milik kita abadi, Nduk, tidak seperti milik teman-temanmu yang hanya bisa dilihat beberapa menit kemudian hilang.” Aku diam menatap ayah, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
***
Malam hari di bulan Desember, aku melihat seorang laki-laki dengan setelan jas yang rapi. Sepatu pantofel yang dikenakannya pun tampak mengkilap. Ayah datang dalam pameran lukisanku. Aku menghampirinya dengan setengah berlari, memeluknya dan melepas rindu yang selama ini aku simpan. Laki-laki yang kupanggil ayah itu memang benar-benar datang menepati janjinya.
“Ayah kemana saja?” Tanyaku sembari melepas pelukan.
“Ayah sibuk melukis lukisan pesanan langganan, Nduk,” senyuman ayah masih sama, menenangkan pikiranku.
“Ayah pasti sudah sukses, ya, sekarang? Ayah tinggal dimana?” Pertanyaan yang selama ini kusimpan akhirnya dapat terlontarkan padanya.
“Alhamdulillah. Tenang saja, kapan-kapan ayah ajak Khurbi main!”
“Janji?”  Kusodorkan jari kelingkingku sebagai bukti stempel bahwa Ayah memang sedang berjanji. Seperti seorang anak kecil yang tak ingin ditinggal ayahnya pergi.
Ayah tampak sehat dan begitu gembira. Penampilannya malam itu membuatku lega. Selama ini kupikir ayah sedang memiliki masalah atau menyembunyikan sesuatu.
Dan pada malam yang lain, aku melihat ayah di alun-alun kota Gresik. Namun ayah benar-benar berbeda. Baik penampilan atau tentang tempat tinggalnya. Sungguh berbeda dengan yang kulihat di malam pameran lukisanku minggu lalu.
Ayah juga tak menepati janjinya. Janji melukis bunga api bersama dan berkunjung ke rumahnya. Karena Ayah tak memiliki rumah, begitu kata teman melukisnya. Ayah hanyalah seorang pelukis jalanan, dan tempat tinggalnya berpindah-pindah. Di hari lain aku coba menemuinya kembali di alun-alun kota. Namun, ia tak pernah terlihat lagi dan aku tak tau ia berada dimana. Ayah kembali tak mengangkat telepon dariku.
Ayah berbohong tentang dirinya. Walaupun begitu ayah tetap yang terhebat. Dan di malam tahun baru ini aku percaya, sedang melukis bunga api bersama Ayah. Walau dari kejauhan dan pada tempat yang berbeda, aku yakin Ayah sedang melukis saat ini. Melukis bunga api seperti yang kami lakukan pada tiap akhir tahun yang telah kami lalui.
Read more ...

Minggu, 05 Februari 2017

Meraih Makna Pendidikan




Esai Gigih Pebri (LPM Sinar, 5 Februari 2017)

Parah ahli memiliki pandangannya masing-masing dalam memaknai pendidikan. Bagi kaum humanistik seperti Ivan Illich, pendidikan dimaknai dalam arti luas. Sementara itu, bagi kaum behavioristik seperti B.F. Skinner, pendidikan dimaknai dalam arti sempit.
Bagi kaum humanistik, pendidikan tak terbatas pada ruang dan waktu. Seseorang dapat belajar dimanapun dan kapanpun. Tidak ada kurikulum. Tidak ada rapor, penilaian, peraturan, dan segala hal yang sifatnya membatasi. Karena itu, seseorang dapat belajar sepanjang hidupnya (long-life eduation). Mereka dapat berinteraksi antar-sesama, karena tidak ada “guru” dalam prinsip pendidikan ini. Semua orang bisa jadi guru, dan semua orang bisa jadi murid. “Guru” bagi kaum ini adalah mereka yang lebih paham lebih dulu, sedangkan “murid” adalah orang yang belum memahami.
Lihatlah, suku-suku pedalaman di rimba raya. Kita akan menemukan masyarakat yang tak mengenal sekolah, tapi mampu membedakan tanaman beracun dengan tanaman berkhasiat di hutan. Siapakah guru bagi mereka? Siapapun. Kapan waktu mereka belajar? Kapanpun. Dimana mereka belajar? Dimanapun. Inilah yang dimaksud pendidikan alam, salah satu “jenis” pendidikan yang didasarkan pada pendidikan dalam arti luas.
Jika kaum humanistik mengutamakan pada kemanusiaan, maka kaum behavioristik menitikberatkan pada binatang. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh kaum behavioristik selalu dilandasi dengan pengertian “manusia adalah binatang yang berpikir”. Mereka menyamakan manusia dengan tikus. Seperti perkataan Watson, “Kami tetap yakin bahwa manusia adalah binatang, berbeda dengan binatang-binatang lainnya hanya dalam hal bentuk-bentuk tingkah laku yang ditampilkannya”.
Kaum behavioristik memanfaatkan binatang dalam penelitiannya. Mereka menguji anjing yang diberi daging, lalu dalam keadaan tertentu si peneliti memainkan lonceng. Mereka mengamati respon anjing ketika lonceng dibunyikan tanpa adanya daging. Dan saat itu, anjing akan menjulurkan lidah.
Selain menyamakan manusia dengan binatang, kaum behavioristik memandang manusia sebagai bahan mentah. Lester Frank Ward mengatakan, “Setiap anak dilahirkan di dunia, hendaknya dipandang oleh masyarakat ibarat bahan mentah yang harus diolah dalam pabrik”. Pabrik itulah yang kini dinamai dengan sekolah. Pabrik ini telah mendominasi dunia pendidikan seluruh dunia, dengan dibentuknya kelas dan tingkat pendidikan.
Jika kaum humanistik berorientasi pada kebebasan, maka kaum behavioristik cenderung pada batas-batas. Ada standar-standar dalam sistem pendidikannya. Ada kelas, ada ranking, bahkan ada jarak antara guru dan murid.
Saya sendiri, sebenarnya tidak ingin mempertarungkan dua paham yang bertolak belakang itu. Saya bukanlah ekstremis yang fanatik pada salah satu paham. Saya berada di tengah-tengah. Dan memang seharusnya demikian agar terjadi keseimbangan.
Dalam mencari makna pendidikan yang ideal, saya tak memprotes sistem sekolah yang konon “seperti pabrik”. Tapi saya juga tidak mengejek pendidikan dalam arti bebas. Keduanya, jika digabungkan, saya kira akan membentuk proses pendidikan yang sesungguhnya.
Sistem sekolah merupakan sistem yang baik, asalkan tidak dipandang sebagaimana pabrik. Sistem sekolah berguna agar kita disiplin mempelajari suatu ilmu. Jika dipadukan dengan “pendidikan dalam arti bebas”, sistem sekolah seyogianya tidak mendehumanisasikan manusia seperti robot.
Sewajarnya siswa diberikan kebebasan berekspresi. Untuk belajar sastra, misalnya. Mereka sepantasnya belajar mengemukakan gagasan, salah satunya dalam bentuk tertulis. Bukan hanya menghafal nama sastrawan dan tahun. Sementara itu, untuk belajar matematika dan ilmu pengetahuan alam, hendaknya guru mengaitkan mata pelajaran dengan kondisi lingkungan. Hal itu bertujuan agar mata pelajaran tidak bersifat teoretis semata tapi juga praktis.
Adapun, seorang guru harus memiliki pemikiran yang luas (open minded). Artinya, mereka harus percaya bahwa dirinya pun bisa menjadi peserta didik. Tidak menutup kemungkinan seorang guru belajar kepada muridnya, jika memang diperlukan. Ia juga harus bersikap sebagaimana seorang teman kepada teman, bukan “guru” dalam pengertian “sok tahu”.
Dengan pemikiran yang luas, guru akan memahami perbedaan antara persekolahan dan pendidikan. Sekolah hanyalah salah satu jalur untuk menempuh pendidikan, tetapi tidak menjamin seseorang untuk menjadi individu yang terdidik. Sementara itu, pendidikan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, oleh siapa saja, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Pendidikan inilah yang memberi harapan besar terbentuknya individu yang terdidik.
Jika guru memahami hal ini, maka tidak ada lagi pandangan bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat untuk meraih pendidikan. Tugas guru selanjutnya, menjelaskan kepada siswa bahwa mereka bisa belajar di luar sekolah dan tidak bergantung pada buku-buku sekolah saja. Mereka bisa belajar kepada siapapun selain guru, misalnya orang tua, atau bahkan anak yang usianya jauh di bawah mereka. Guru harus menjelaskan hal itu!
Read more ...

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm