“Hidup itu susah, ya? Sekarang semuanya mahal, minyak naik, beras
naik, bensin juga naik,”
ucap seorang mbak-mbak pada temannya sambil mengoleskan lipstik bermerek
ternama. Mataku otomatis
langsung bergerak melihat penampilannya, kulihat tas selempang yang ia bawa.
Bangsat, tas mahal ternyata.
Bisa-bisanya manusia model begini yang kudengar celotehnya di
depan kaca toilet, kalau saja itu
tadi temanku yang sehari-harinya juga makan teri, pasti aku bakal berapi-api
menyetujui.
Ah, aku kesal sekali. Menyadari
bahwa kebingunganku hanya seharga lipstik yang ia oleskan. Malah, uang makan
sebulanku mungkin hanya seharga tas yang ia bawa. Bagaimana mungkin dia semudah
itu berkata hidup ini susah? Bah!
Setelah kubasuh wajahku, segera aku keluar dari sana. Melangkah menuju ke ruang kelas selanjutnya
sembari berkomat-kamit dalam hati, membaca doa agar lapar tak datang di tengah
kelas siang ini. Semoga nanti tak ada orang yang menyapa, karena sesungguhnya
aku tak ingin banyak bicara seperti biasa.
Sejujurnya aku yang
kini berusia hampir seperempat abad masih
juga memikirkan tentang seberapa perlu eksistensi manusia sepertiku yang hidup
hanya karena sudah telanjur. Keberadaanku di kampus ini juga terjadi karena sudah
telanjur.
Aku memakai masker dan keluar dari area kampus, menuju ke bar
murahan kata orang-orang kaya yang
sebetulnya masih bisa disebut bagus karena tak berbau pesing di sana. Aku mau
mencari Bapak. Mungkin saja orang itu menang judi hari ini.
Kalau ditanya, apakah aku senang Bapak berjudi? Jawabannya sudah
jelas tidak. Namun, aku tak
pernah menyentuh uang Bapak untuk makan. Aku bekerja untuk diriku sendiri,
mungkin kami terlihat hidup bersama, tetapi aku dengan tegas akan bilang bahwa
kita berbeda.
Kubuka pintu bar itu, seperti biasa Bapakku ada di kursi ujung,
rupanya tak sedang berjudi ... atau malah sudah kalah?
“Bapak nggak pulang?” tanyaku ketika sampai di kursinya.
Orang itu menggeleng, “Kalah bandar.”
Sudah kuduga.
“Makanya jangan judi, kerja.”
“Capek,” ucapnya. Capek mabuk-mabukan iya.
“UKT-ku ditagih, ada dua juta nggak? Kupinjam dulu nanti pas gajian
kubalikin.”
“Mana ada, tadi ke sini aja modal dua puluh ribu.”
Aku tertawa, konyol sekali tingkah manusia satu ini. Nekatnya nggak
ngotak.
“Terus gimana? Mau pinjam
uang siapa buat bayar?”
“Cari kerja yang langsung dapat upah. Jangan ngutang, capek tidur
di jalanan karena dikejar rentenir.”
Aku mencebik. “Mana ada kerja langsung dibayar. Nunggu sebulan lagi
keburu ditendang sama kampus.”
Bapak tiba-tiba melihatku dengan penuh keseriusan. “Mau jual diri
gak?”
Sejujurnya, pemikiran ini sempat terlintas tadi. Tapi tidak, aku
tak bisa. Kalaupun kujual mana
laku badanku?
“Udah gila.” Kuucapkan dua kata itu pada Bapak. Menjadi perempuan
suci yang mencoba menjaga keperawanannya mati-matian. Sebetulnya sangat takut
pada diriku sendiri, karena sebagian diriku yang lebih serakah merasa kesal
jika sudah
capek-capek kuliah dan mengeluarkan banyak biaya, lalu semuanya sirna hanya karena
cari uang dengan cara yang tidak seharusnya.
Aku keluar dari bar, agak kebingungan karena tak tahu harus kemana
lagi untuk mencari bantuan. Aku punya teman. Tapi baik mereka maupun aku juga
sama-sama miskinnya. Mungkin temanku yang lain juga sedang kelabakan mencari
utangan, bedanya mereka masih dibantu oleh keluarga yang jiwanya masih belum
rusak karena kehidupan. Dan poin pentingnya, mereka tak tahu bahwa aku semiskin
ini.
Sekarang, aku sendiri. Aku harus ... apa?
Kenapa keberuntungan tak berpihak padaku atau Bapak hari ini?
Bahkan uang beasiswaku juga belum turun padahal sudah tanggalnya. Aku mengacak
rambutku, frustrasi. Masa iya pasrah dan menunggu kampus mengeluarkan surat drop out untukku? Kalau sudah tau akan
dikeluarkan begini, kenapa tak dari dulu saja aku memutuskan agar tak kuliah?
Sekarang sudah semester 8, sudah terlalu telat jika harus
dikeluarkan. Skripsiku juga masih jalan meski dosen pembimbingku suka
ilang-ilangan. Sungguh sialan ... aku benar-benar tak tahu ... bagaimana caraku
untuk bertahan?
“Wah, ada orang cantik yang mabuk di pinggir jalan? Mau dibantu
pulang?”
Sekilas, di kepalaku berdoa agar orang yang memiliki suara tersebut
dapat membantu.
“Saya nggak mabuk, Pak,” ucapku sambil mengangkat wajah. Seorang
pria—mungkin usianya setengah baya berdiri di sampingku. Parfumnya wangi
sekali, mungkin seharga UKT.
“Sakit?” tanyanya, lagi.
“Pusing, dikit.” Aku membasahi bibir; cukup
ragu mengatakan kalimat selanjutnya. Tapi rupanya, dewi keberuntungan berada di
pihakku.
“Butuh bantuan?”
“Bapak ada kerjaan buat saya? Saya bisa ngelakuin banyak hal,”
ucapku tanpa basa-basi.
Orang itu tertawa. “Kamu ini butuh uang ya?”
Bukannya dari gerak-gerikku saja sudah terbaca? Tetapi aku
mengangguk dengan sopan.
“Coba perlihatkan kalau kamu bukan orang jahat.” Ia memandangku
dengan sedikit telisik.
“Saya mahasiswa dari universitas terdekat, semester akhir.”
Ia tampak puas dengan jawaban nanggung itu, lalu menodongku dengan
pertanyaan, “Kamu butuh uang berapa?”
“Dua juta,” jawabku langsung.
Pria itu tertawa remeh, aku tak masalah asal ia mau membantuku.
“Dikasih kalau goyangan pinggulmu memang semahal itu,” ucapnya
lagi.
Aku agak naik pitam, tapi tanpa berpikir lagi,aku mengangguk.
Mungkin ini yang bisa kuusahakan untuk sementara waktu. Kali ini saja,
setelahnya aku janji tak akan melakukannya lagi.“Tanpa direkam ya?”
Pria itu langsung tertawa,“Murah sekali kamu rupanya.” lalu ia
memggumamkan sesuatu yang tak bisa kudengar dan akhirnya mengambil isyarat agar
aku mengikutinya masuk ke mobil.
Aku masih kebingungan. Apa caraku salah untuk hidup? Bukankah ini
sama-sama bekerja? terus kuucapkan tak apa-apa sambil mengusap tanganku;
mencoba tenang. Tak apa, ada banyak pekerjaan haram dan aku hanya melakukan
salah satunya.
--
Semua berlalu begitu cepat. Uang tiga juta yang kukantongi dan
tubuhku sendiri adalah saksi. Aku tak tahu kalau melakukannya benar-benar
semudah ini. Bahkan aku tak perlu mencari, setidaknya aku sedikit lebih
beruntung. Lihat, bahkan aku berhasil membawa uang lebih, sisanya bisa dipakai untuk
makan dan membeli beberapa barang, ya kan?
Aku tak salah, Bapakku yang malah menawari untuk begini, bukan?
--
“Ini udah bisa lanjut bab 4, kamu beneran pinter ternyata sampai
sekali revisi udah mantep. Lanjut ya, semangat. Saya udah selesai urusannya,
jadi hampir setiap hari pasti ada di kampus.”
Aku tersenyum lega. Tinggal sedikit lagi.
Tetapi, kenapa tidak dari dulu? Kalau Ibu urusannya selesai sejak
dulu pasti kelulusanku tak akan terlambat satu semester hanya untuk skripsi.
“Dara?”
“Ah, baik Ibu. Saya akan lajutkan dengan segera. Terima kasih
banyak, saya pamit dulu.”
Aku keluar dari ruangan beliau, tiba-tiba menyesali segala yang
kuperbuat beberapa malam terakhir. Menjadi orang murahan, menyerahkan sedikit
dari hal yang kupunya untuk ditukar dengan uang tiga juta.Ya Tuhan, ini
bagaimana ...
Sebab perjanjiannya adalah aku menjadi gundiknya selama seminggu.
Harusnya aku cari cara lain, menjual organ tubuhku, atau meminjam ...
tidak-tidak. Tak ada yang bisa digadaikan. Rumah saja hanya gubuk reyot dan
tanahnya juga bukan milik Bapakku.
Tiba-tiba aku menyesal mengapa aku memilih untuk melanjutkan
kuliah, padahal Bapak sudah ada tanda-tanda kebangkrutan sejak aku lulus SMA.
Pun Ibuku yang sering mengeluh ketika aku memasuki semester dua, hingga akhirnya
Bapak benar-benar jatuh ketika aku semester lima.
Mengapa ya, aku tak memilih untuk menyerah pada saat itu?
“Dara, habis bimbingan ya? Ayo jajan, gue traktir!” teriak Silvia
dari belakang sambil memelukku, ia adalah temanku.
“Habis dapet duit ya?” ucapku karena biasanya ia tak begini.
“Beasiswanya turun, barusan.”
Ah, aku ingin muntah. “Punya gue juga, dong?”
“Ya iya lah, kan kita dapet beasiswa yang sama. Lo gimana sih?”
Silvia, aku minta maaf. “Entar
gue cek dulu. Soal ajakan lo, kayaknya gue nggak bisa. Gue harus pulang cepet.”
Silvia mencebik. “Ah, nggak seru. Tapi yaudah, hati-hati.”
Saat Silvia menghilang dari pandangan, aku segera berlari ke kamar
mandi dan memuntahkan seluruh isi perutku di sana. Akan kukembalikan uang dari
pria kemarin lalu tak berurusan dengannya lagi. Segera setelah uang beasiswanya
kuambil.
--
Aku pulang dan rumah kosong. Bapakku tak pulang seperti biasa, aku
mencoba mengistrahatkan diri sebentar dan menyiapkan mental untuk bertemu pria
itu. Sebab dua hari yang lalu terasa sangat gila. Pria itu, hanya wajah dan
parfumnya yang baik. Selebihnya hanyalah inkarnasi dari neraka buatan. Ia tak
punya perasaan, mungkin karena kebanyakan uang sehingga tak peduli pada
orang-orang.
Aku mendengar suara pintu rumahku berderit, mungkin itu Bapak. Ah
iya, sejak hari itu aku belum bertemu dengan Bapak lagi.
“Dara? Bukannya kemarin saya bilang agar kamu tetap di kampus agar
saya jemput?”
Ah gila, suara itu lagi. Aku ingin muntah.
“Pak Yasa. Kok bisa tahu rumah ini?” orang itu hanya tertawa.
“Ayo?” tanyanya sambil menggandeng tanganku.
“Uh, saya punya penawaran.” Kuceritakan kemauanku, tentang uang
beasiswa dan perjanjian kami. Aku tak bisa menerka apapun selama bercerita,
sebab beliau sama sekali tak berekspresi.
“Mana bisa,” ucapnya ketika aku selesai, “Kan kemarin ada tanda
tangan diatas kertas. Setidaknya selesaikan dulu perjanjianmu. Mungkin aku bisa
menambah nominalnya karena ... perilakuku?”
“Ah nggak. Saya benar-benar nggak bisa …”
“Kamu kalau lupa, baru dua hari yang lalu kamu mohon agar saya beri
uang dengan gantinya adalah tubuhmu? Gimana?”
Orang itu mencium bibirku, lalu berucap, “Hari ini jam 8 malam saja
ya.” Lalu ia berlalu dari sana.
Tak apa, hanya perlu lima harilalu aku bisa cepat-cepat
menyelesaikan skripsikudanmelakukan sidang hingga akhirnya lulus.
Iya pasti bisa.
--
Kurasa aku kembali menelan ucapanku tempo hari.
Karena nyatanya, kini aku menerima uang Pak Yasa lagi.
Orang itu bahkan memberiku afeksi dan perlindungan, meski kadang
ucapan atau tingkah lakunya seperti binatang. Namun beliau selalu melepaskanku ketika aku pergi ke kampus untuk acara
apapun. Menyiapkan makanan dan bersedia menjemputku saat aku tak punya
tumpangan. Rasanya, hidupku jauh lebih mudah dari sebelumnya.
Tinggal di rumah nyaman selama seminggu ini, tak ada lagi yang bisa
kusyukuri selain tidak perlu bingung besok akan makan apa.
“Mau berangkat ke kampus sekarang?” tanya Pak Yasa. “Diantar supir,
ya? Saya ada rapat.”
“Ojol aja, boleh? Nggak enak kalau ada yang lihat saya naik Pajero
ke kampus.”
Pak Yasa mengangguk. Ia menepuk kepalaku lantas berdiri dan bersiap
untuk berangkat kerja.
--
Pak Yasa membelikanku macam-macam barang yang harganya jauh lebih
tinggi daripada uang makanku sebulan. Aku hanya bisa menerima tiap
barang-barang itu datang. Sudah pernah marah, sekali waktu. Tapi Pak Yasa tetap
membelikanku.
Aku bertemu Silvia beberapa saat yang lalu. Ia mengeluh pusing
karena skripsinya macet sampai bab tiga, itu pun belum ia selesaikan
hingga menjadi buronan dosen pembimbingnya, haha. Sungguh lucu wajahnya kini.
“Eh, temenin gue ke kamar mandi,” ucapnya sambil menarikku ke
toilet. Aku menunggunya di depan kaca, sekalian bersolek.
“Gila airnya mati,” ucapnya ketika mengecek penyemprot air.
Aku mengeluarkan lip tint yang kubawa, berkaca lalu diikuti
dengannya dengan melakukan hal yang sama. “Harga air PDAM naik, kali ya,
makanya nggak dinyalain,” ucapnya.
Aku mengoleskan lip tint-ku
di beberapa titik. “Sekarang mah,semuanya serba mahal, ppn naik, jadi semuanya
keikut naik, masa kemarin gue beli sushi harganya juga naik.”
Eh, aku merasa pusing seketika.
Yang barusan berbicara itu ... siapa?
Suara Silvia terdengar sayup-sayup di telingaku. Silvia terdengar
memanggilku Dara ... Dara itu yang mana? Aku Dara?
Pada akhirnya aku tak bisa merasakan apa-apa.
--
Aku bangun di atas ranjang empuk berbalut selimut dan mengenali
bahwa ini rumah Pak Yasa, tapi orangnya tak di sini. Apa yang terjadi tadi?
Aku memutuskan untuk pergi ke toilet sebab kepalaku harus segera
dibasuh. Pening yang terasa sejak aku membuka mata terasa berbeda dari
biasanya.
“Halo? Kamu siapa?”
“Dara.”
“Dara bukan perempuan murahan. Yang namanya Dara itu perempuan
keren dengan caranya sendiri,padahal kekurangannya banyak, tapi dia selalu bisa
mengatasi.”
“Dara hidupnya enak,
sekarang,” balasku.
“Dara pernah berjanji agar hidup bahagia, tanpa penyesalan,”
sergahnya. Sebenarnya dia ini siapa?
“Dara itu aku. Kamu tau apa? Kamu siapa?!”
Aku berbicara dengan siapa?
“Dara, udah bangun?” ucap seseorang dari balik pintu toilet yang
kuasumsikan adalah Pak Yasa.
Aku langsung menemuinya. “Bapakku, di mana?”
“Kamu punya Bapak?”
Aku mengernyit kebingungan. Ini sebenarnya kehidupan siapa?
--
“Dara, akhirnya bangun,” ucap Pak Yasa.
Rupanya yang tadi hanyalah mimpi.
“Pak, Bapak saya mana?”
Pak Yasa bingung. “Kenapa tiba-tiba cari Bapak? Bapakmu saya yang
urus,” beliau tersenyum miring.“Masa iya anaknya jadi gundik saya lalu Bapaknya
yang merangkap jadi mucikarinya malah saya telantarkan.”
Aku tersentak dengan kalimat ini. “Maksudnya?”
“Wah rupanya kamu beneran nggak tahu? Kan Bapakmu yang nawarin kamu
ke saya ....”
--
Di saat ini, aku bahkan tak punya semangat untuk melanjutkan
skripsiku lagi, padahal hanya tinggal sedikit saja. Sejujurnya saat aku menulis
skripsi, ada yang bertanya aku siapa seperti yang biasa kudengar akhir-akhir
ini dan itu cukup mengganggu.
Aku juga mulai merasa sulit membedakan bayangan dengan kenyataan,
aku bertemu Bapak di rumah ini, lalu kulempar benda yang ada di sekitarku
padanya dengan perasaan kesal yang meluap-luap, tapi ternyata tak ada apapun di
sana.
Aku masih sering bertemu Silvia, tak tahu itu Silvia yang asli atau
bukan, karena yang keluar dari mulutnya pun sama. Ia bertanya aku ini siapa.
Di titik ini, aku tak berani melihat kaca atau bahkan pantulan
sendok yang ada di meja. Pak Yasa sudah jarang menyentuhku lagi, ia sepertinya
bingung dengan perilakuku. Aku sendiri tak tahu pastinya.
“Halo, kamu siapa?”
Suara ini lagi, aku lelah.
“Sebenarnya maumu apa?”
“Kamu menderita,” ucapnya. “Kamu yang telah menghancurkan hidupmu
padahal kamu sendiri yang ingin hidupmu tak rusak seperti Bapakmu, tetapi
mengapa hanya karena uang kamu membuang idealisme yang kamu punya?”
“Bukankah kamu mengerti alasannya?” tanyaku agak kesal karena
sungguh aku merasa seperti dikuliti di sini.
Ia tertawa, aku baru menyadari suaranya sangat mirip denganku,
“Memang, aku di sini hanya untuk membuatmu menderita.”
Lalu ia tertawa, makin kencang, lalu menangis, bersiul, membacakan
bait demi bait skripsi yang kuolah dengan suara parau, lalu kembali menangis.
Lalu suara itu berhenti.
“Kamu sudah mati,” ucapku agak merasa senang karena menyadari
setelah ini ia tak bisa berulah lagi.
Lalu, aku melihat diriku sendiri, “Yang mati itu, kamu. Aku adalah
kamu di masa lalu yang hidup sederhana meski serba kekurangan. Aku adalah Dara
yang sebenarnya.”
Setelah ucapan itu berakhir, aku baru sadar jika kini berada di
kamar mandi, memecahkan kacanya menggunakan kepalaku sendiri.
—fin.