Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Sabtu, 12 Juni 2021

Ayah

 AYAH

Karya: Chanisa

       Ilustrasi: lpmsinar2021

            Ayah pernah bilang, kalau aku merasa sakit, aku harus diam. Jangan menangis, jangan bicara, jangan merasa sedih. Dia bilang seorang laki-laki yang memperlihatkan kelemahannya hanya akan dianggap laki-laki tidak becus. Ayah paling benci melihat orang yang menangis. Mungkin sebenci dia melihat foto pernikahannya dengan Ibu.

            Aku paham apa kata Ayah dan itu lah yang malah membuatku marah. Karena dia lah laki-laki yang membuat Ibuku selalu menangis. Lucu memang. Dia selalu bicara tentang menjadi laki-laki sejati atau orang yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Tapi yang ada, di mataku dia tidak lebih hanyalah seorang otoriter yang terlalu mengagung-agungkan maskulinitas.

Persetan.

Dia bahkan tidak sanggup mengurus rumah tangganya sendiri.

            Apa yang perlu aku banggakan dari Ayah? Tidak ada. Oh mungkin, caranya memukul Ibu seperti game boxing apocalypce di PS4 atau cara dia berteriak dan menggeram marah padaku ketika aku sengaja pulang malam. Itulah yang bisa aku banggakan darinya.

"Ryan, ayahmu itu biadab!" omel ibuku di depanku dengan wajah memarah dan air mata jatuh pipinya.

            Dia mengangis lagi. Seperti sebuah hal yang telah menjadi biasa. Dia akan melampiaskan kekesalannya padaku. Seolah aku adalah Ayah, Ibu akan bicara dengan nada tingginya. Memekik seperti burung pekik yang tercekik dan menatapku dengan tatapan jijik.

Ibu.

Ya itu lah Ibuku.

            Dia cantik. Tentu saja. Tapi itu dulu ketika senyum di bibirnya masih sama seperti di foto pernikahan yang dipajang di ruang keluarga rumah ini. Foto dengan nuansa putih, kehangatan dan cinta serta dibumbui  efek taburan bunga mawar di atas kepala mereka. Mereka saling tersenyum bahagia dengan pose saling berhadapan di atas pelaminan.

            Sekarang Ibu hanyalah ibu-ibu biasa yang bahkan tak bisa aku definisikan.dia tidak lagi mengurus dia. Dia bahkan tidak lagi repot-repot mengurus urusan rumah. Kadang dia seperti seorang ibu. Kadang aku merasa dia orang lain. Ibu punya temperamen yang labil dan semua itu terjadi karena Ayah.

"Ibu benci Ayahmu! Ayahmu itu bajingan!" kini tangisan Ibu semakin renyah di telingaku. Kurasa dia tidak akan berhenti menangis untuk waktu yang lama.

            Memang. Tragedi yang yang terjadi saat ini adalah karena Ayah. Ibu menjadi gila dan kian hari kegilaannya semakin menjadi. Aku paham yang dirasa Ibu. Ayah memang bajingan. Dia jarang sekali pulang ke rumah sejak setahun yang lalu. Hanya sebulan sekali dia akan pulang. Alasannya adalah pekerjaan, karena dia adalah seorang distributor barang impor dan alasan-alasan pekerjaan yang tidak ingin aku dengar.

Karena semua yang dia katakan adalah kebohongan.

Selain bajingan ulung, hal lain yang patut aku banggakan dari Ayah adalah skill-nya dalam berbohong.

            Dia berselingkuh. Dan bahkan selingkuhannya itu dia nikahi secara siri. Ibu maupun aku tidak ada yang tau tentang kebejatannya itu. Sampai akhirnya Ibu yang mulai merasa aneh dengan kelakuan Ayah segaja datang ke kampung halaman Ayah.

Dan BOOM!!!

            Seperti sebuah ledakan yang luar biasa tepat di gendang telinga. Semuanya pun jadi kacau dan berantakan dengan efek yang sangat mengejutkan. Saat itu akhirnya aku benar-benar sadar. Duniaku sudah hancur lebur. Tidak ada yang tersisa. Tidak ada lagi yang namanya harapan. Begitu juga dengan Ibu. Semuanya sudah lenyap. Keluarga sudah menjadi kata lain dari neraka. Dan definisi yang aku ciptakan itu telah terukir nyata dalam benakku. Pertengaran Ayah dan Ibu bukan lagi seperti game. Tapi telah menjadi  pertengkaran yang benar-benar ada. Karena berbeda dengan pertengkaran sebelumnya. Pertengkaran yang terjadi kali ini telah memiliki akhir.

Ya.

Selamat. Ayah dan ibu akhirnya bercerai.

            Jujur saja. Aku senang atas keputusan itu. Karena aku tidak akan lagi mendengar mereka saling berdebat atau dengan egoisnya saling menyalahkan. Dan juga aku tidak perlu membuat alasan-alasan untuk tidak perlu pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Tapi kenyataan ini sebenarnya sedikit menyakitkan. Ya, sedikit. Karena aku tidak menyangka bahwa aku semakin membenci Ayah.

            Setelah memutuskan bercerai dengan Ibu. Ayah meninggalkanku seperti bayangan yang hilang entah ke mana. Dia tidak pernah sekalipun mencoba menghubungiku. Dia bahkan tidak bicara padaku. Aku tidak mengerti kenapa kali ini dia diam. Padahal selama dia menjadi bagian 'keluarga' dia selalu memarahiku dan mulai menceramahiku tentang menjadi seorang pemimpin yang disiplin hampir setiap hari. Dia tidak akan berhenti marah sampai mulutnya kering.

Sungguh. Ini berbeda. Awalnya aku sangat senang dia pergi dan aku tidak perlu repot-repot mendengar suaranya. Tapi aku aku tidak bisa menyangkal. Perasaan kehilangan itu ada.

Ini benar-benar tidak terduga.

Aku tidak menyangka bahwa aku merindukan omelannya.

Bahkan aku mulai bermimpi betapa indahnya aku dihantam dengan tinjunya.

            Mungkin karena hanya kenangan itu yang aku miliki ketika aku punya 'ayah'. Tapi tetap saja aku kesal. Dia mengabaikanku. Dia menganggap aku tidak ada. Mungkin seperti ia menganggap Ibu adalah hama yang harus dibuang. Oh tidak, sejak awal mungkin dia menganggap kami berdua adalah hama.

"Ayah itu memang bangsat," ucapku mencoba mengelus pundak Ibu. Mencoba menenangkannya seolah aku menyapu semua beban di sana dengan perkataan manisku itu.

            Ya. Ayah memang bangsat. Dia itu bajingan. Aku benci ketika setelah hampir lima bulan perceraian, dia mengirimiku uang melalui pamanku. Apa-apaan dia?! Bertidak seolah dia seorang Ayah sekarang, huh?! Seolah dia baru ingat kalau dia punya seorang putra. Dia kira dengan uang-uang itu aku akan memaafkan kelakuan bangsatnya itu?!

Tidak!

Tentu saja tidak.

            Uang-uang itu malah membuatku marah dan tertekan. Aku tidak butuh uang. Aku tidak butuh apapun darinya. Aku juga tidak mengharapkan pemberian apapun dari bajingan yang memanggil dirinya ayah. Aku tidak mau! Yang sangat aku inginkan hanyalah dia menderita! Seperti aku dan seperti ibuku!

Dengan amarah yang meluap-luap. Aku mengambil ponselku dan mengetik pesan singkat di sana untuk Ayah.

"Kenapa Ayah ga mati aja?! Berenti ganggu hidup aku sama Ibu!"

Lalu aku kirim pesan itu.

Ayah ternyata langsung membalas dan aku membacanya masih dengan kekesalan yang naik keubun-ubun.

"Baik. Kalo itu yang kamu mau. Ayah ga bakal ganggu kamu sama ibu kamu.  Ayah bakal berenti. Tapi Ayah titip Ibu kamu. Jangan bikin dia nangis meski dia ngomelin kamu. Kamu juga jaga diri kamu baik-baik. Jangan nakal. Jangan terlalu suka keluyuran dan tolong jangan bergaul sama orang yang salah. Sama jangan lupa, beresin kamar kamu."

            Pesan singkat  itu tidak aku balas sampai seminggu kemudian. Aku tidak tau harus membalas makian seperti apa. Aku tidak tau juga mengapa mataku panas dan berair dan jantungku berdegup dengan kecepatan abnormal ketika membaca pesannya itu. Aku tidak nyaman dan aku tidak suka perasaan menyebalkan ini.

Tapi, semuanya berakhir dengan sangat epik ketika setelah dua minggu aku mendapat kabar jika Ayah meninggal akibat gagal jantung.

Dia meninggal.

Dia pergi.

Karena ... Aku.

            Aku tidak berhenti berpikir bahwa akulah yang membunuh ayah. Aku lah penyebab sebenarnya dia meninggal karena amarah sesaatku. Aku memintanya untuk mati dan dengan bodohnya dia benar-benar mati. Aku merasa Tuhan sungguh kejam. Dia memberiku Ayah yang menyebalkan tapi Dia membuatku sangat merasa kehilangan ketika Ayah pergi dari dunia. Tapi apalah aku. Aku bahkan tidak pantas memarahi Tuhan. Tidak ada yang berubah. Penyesalanku tetap sama. Andai aku tidak mengirimnya pesan singkat itu, apakah Ayah akan tetap hidup? Apakah dia tetap sehat? Tidak sakit?

            Kali ini setelah mencoba mati-matian menahan diri, akhirnya aku menangis memandang Ibuku yang hingga kini tangisnya belum reda. Ia masih memaki Nisan Ayah dengan kata-katanya. Aku tau meski dia memaki, jauh di dalam hati Ibu dia masih menyayangi mantan suaminya itu. Pernikahan yang hampir 20 tahun tentu kenangannya tidak dapat serta merta lenyap. Sama sepertiku, sebenci dan kecewanya aku pada Ayah, aku masih menyanginya dan menganggapnya Ayah. Mungkin penyesalan ini tidak akan hilang. Mungkin aku tidak akan berhenti membenci diriku sendiri.

Aku tidak tau lagi. 

Aku juga ingin mati.

End.

7 komentar:

  1. Thank you for sharing so much for the very good information. MonthlyCurrentaffairsquiz

    BalasHapus
  2. Honda navigation update
    Every user can update the honda navigation system with ease. All you have to do is follow some basic instructions, and you can update the honda Navi by yourself. Most of the time, customers ask whether their updates are free or paid.

    We want to inform you that all Honda Navi updates are free of cost most of the time. A few times, the updates are paid if you have an older honda vehicle. Many times consumers end up paying a good amount of money to the local dealers. We want to inform you that you can get the updates for yourself without paying any additional fees or charges if you can follow some basic steps.

    BalasHapus
  3. This heartfelt narrative encapsulates a journey of resilience and acceptance amidst familial turmoil. The author's raw honesty sheds light on the complexities of relationships, ultimately finding solace in the resolution of their parents' divorce. It's a poignant reminder of the strength found in letting go of toxic ties to embrace personal healing and growth. Bravo to the author for their courage in sharing such a profound and relatable experience.
    Driving Without A License New Jersey
    Accused Of Domestic Violence in New Jersey

    BalasHapus

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm