tirta amarta; air kehidupan
"Kenyataan adalah kepastian dan takdir kehidupan adalah titah Tuhan. Takdir menjelma kenyataan telah menghadirkan bara dalam hatimu. Namun aku tak mampu menyiram panasnya. Aku juga tak mampu meredam sakitnya. Aku bukan takdirmu. Aku tidak lagi bisa menjadi tirta amarta ... dalam hidupmu."
Aku mati.
Meski aku hidup.
Aku hidup.
Tapi aku telah mati.
Sudah tiga tahun lamanya pikiranku hanya
dipenuhi dengan kata 'mati' dan 'hidup'. Begitu memusingkan sampai-sampai aku
hanya bisa termangu di setiap waktu. Seperti saat ini, di mana aku bahkan sudah
tiga puluh menit berdiri mematung di balik jendela besar kamarku sambil menatap
langit mendung yang tak kunjung menumpahkan tangisnya. Padahal awan hitam telah
mengumpal begitu tebal. Cahaya matahari sampai tidak mampu menggapai permukaan
tegel yang aku injak. Suhu udara pun jadi lebih dingin dari biasanya. Angin
juga bertiup kencang menampar pepohonan dipekarangan.
Sungguh hari yang indah untuk mengakhiri
hidup.
"Jangan diam begitu, Ren. Kamu
bikin aku takut."
Aku tidak menoleh. Aku mengabaikan suara
yang mengusik kesendirianku dan tetap memilih menatap langit dengan beraninya
dihiasi petir yang menggelegar.
Aku tidak harus berbicara dengannya. Dia
memang suka datang dengan tiba-tiba hanya untuk mengacaukan hariku yang
sempurna disaat aku menikmati awan mendung yang tak kunjung menjadi hujan.
"Rendi!"
Perempuan itu meneriaki namaku. Lalu
dengan begitu tidak sopannya memeluk lenganku dan menaruh wajahnya di sana.
Aku diam. Tidak berkutik.
"Rendi~"
Dia kembali menyebut namaku, kali ini
dengan memberi nada menyebalkan di sana. Dia membuatku semakin tidak nyaman.
Sungguh membuat sesak di dada saja.
"Kamu tidak takut petir?"
Pertanyaan lucu.
Kali ini aku menoleh menatap perempuan
itu dan memandangnya dengan aneh. "Aku lebih takut kamu."
Mendengar balasanku, dia memukul perutku
dan melempar lenganku dengan kesal. "Emang kamu kira aku apa?!"
dengusnya tidak suka. "Aku yang secantik malaikat ini bikin kamu takut?
Dasar kurang ajar!"
Dia terdiam sejenak sebelum dengan
tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya menatapku menganalisis. Lalu dengan ajaibnya,
dia malah tersipu malu dan tertawa dengan ganjil. Buratan merah jambu di
pipinya sungguh mengganggu. Aku benci kenyataan dia tetap terlihat cantik di
mataku.
"Ah! Aku tau. Kamu takut jatuh pada
pesonaku, ya kan?"
"Tidak." Aku menggeleng dengan
kuat.
"Iya. Katakan saja."
"Tidak."
"Iya."
"Ti-"
"Sssshhht!" Dia meletakkan
jarinya di bibirku, memotong ucapanku dan tanpa kuduga dia mengecup pipiku
dengan bibirnya.
Aku kembali terdiam.
Bibirnya bahkan terasa kering dan kasar.
Tapi entah bagaimana itu membuat tubuhku dilanda ketegangan luar biasa. Napasku
tercekat seolah-olah ada beban berat yang menghimpit dadaku. Perasaan ini
begitu absurd. Aku bahkan tidak tau harus menamai perasaan sakit dan
menggelitik ini sebagai apa. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikannya. Dan
memang itu kenyataanya. Tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaan manusia.
Ah ... Aku jadi semakin ingin mati.
Mencoba menghela napas, sesak di dadaku
semakin memuncak. Mataku mulai terasa panas dan pandanganku menjadi kabur.
Aku benci ketika aku merasa lemah.
Aku benci perasaan ini.
"Astaga!" Dia
terpekik. "Kamu menangis?!" Katanya begitu keheranan. "Kamu
menangis karena aku cium?! Sungguh laki-laki payah."
Apa aku menangis? "Siapa yang
menangis?"
"Kamu!"
Dan benar saja, pipiku terasa basah
tanpa benar-benar aku sadari. Segera aku usap kelopak mataku dan memalingkan
wajah. Kenapa aku menangis? Tidak. Tidak mungkin. "Hentikan omong
kosongmu. Aku tidak menangis," kataku bersikeras.
Tapi respon yang aku dapatkan sungguh
berbeda dari yang aku duga. Atmosfer berubah menjadi begitu suram seketika.
Sama seperti mendung yang kian menggelap di luar jendela sana. Tangan lembut
perempuan itu menangkup kedua pipiku. Matanya memandangku dengan pandangan
berjuta arti yang tidak mampu aku pahami. Suasana berubah semakin tidak
tertahankan bagiku. Dia bersedih dan aku hancur terjatuh untuk sekian kalinya
dalam kubangan keputusasaan.
"Kamu menangis." Dia berkata
dengan begitu lirih mengusap air mata yang mengalir di pipiku.
Tersentak dengan apa yang terjadi,
buru-buru aku menepis tangannya. Aku berjalan menjauh dari jendela kamarku dan
terduduk di ranjang.
Hentikan. Aku tidak tahan dengan tekanan
ini lagi. Aku hanya ingin mati!
Mataku menangkap pigura yang tergeletak
terbalik di atas nakas. Pigura yang membingkai foto yang tak mampu lagi
kupandangi dengan cara yang sama ketika semua terasa bahagia.
"Karena di foto itu... ada
aku."
Sengatan rasa pening datang tiba-tiba
menyerang kepalaku. Bau anyir darah menyusul mengguar dari tanganku. Disusul
rasa sakit yang menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Aku gemetar hebat.
Semuanya begitu menakutkan. Gelap. Kelam. Dan mencekam. Ingatan mengerikan
datang seperti badai yang menerjang kepalaku. Aku meringis kesakitan ketika
akhirnya kilasan-kilasan mengerikan muncul semakin jelas terlihat dalam
benakku.
Di sana ...
Dalam benakku, aku melihat diriku
berdiri di tepi jalan yang ramai dan tampak sibuk di sore hari. Aku menunggu
kedatangan seseorang yang sangat kukasihi untuk sebuah kencan yang telah kami
janjikan.
Aku terlihat sangat bahagia saat itu.
Hingga dengan senyum bodoh aku terus memandangi cincin mungil dalam kotak
beludru yang aku pegang.
Aku akan melamar perempuan itu.
Aku telah bertekat. Akan aku jadikan dia
perempuanku. Untukku seorang. Dan untuk selama sisa hidupku.
Lalu akhirnya aku melihat sosoknya di
tepi jalan sana. Dia tersenyum lebar ketika melihatku. Senyum yang sangat indah
dan aku rindukan.
"Aaarrrgh!" Aku meringis
memegang kepalaku ketika sengatan menyakitkan di kepalaku semakin menjadi.
Kilasan yang aku lihat kini berubah buram. Merah. Dan berputar-putar acak.
Menghela napas, aku mencoba untuk
tenang dan kilasan itu kembali terlihat. Di saat aku masih berdiri di
tepi jalan dan melihat perempuan itu di seberang.
Namanya.
Aku memanggil namanya. Namun aku tidak
mengingat apapun, aku tidak sanggup mengingatnya.
Lalu aku memberi isyarat dengan
melambaikan tanganku meminta pada perempuan itu untuk menyebrang jalan untuk
menghampiriku. Dengan bahagia dia menyambut isyaratku dan mulai berjalan
mendekat. Namun hal yang tak pernah aku duga terjadi ketika entah dari mana
truk melintas dengan begitu cepatnya menabrak sosok perempuan itu.
Napasku terhenti untuk sepersekian
detik. Rasanya duniaku baru saja runtuh tepat di depan mataku.
"Seharusnya aku tidak memintamu
datang menemuiku."
"Seharusnya kita tidak perlu
berkencan di malam itu."
Tubuhku membeku dan jantungku berdegup
dengan cara yang menyakitkan. Mataku memandang dengan kabur sosok perempuan
yang aku kasihi terbaring di atas aspal hitam yang tergenang oleh darah merah
segar.
Semua terlihat begitu lambat ketika aku
berlari meraih tubuhnya. Aku memanggil namanya. Aku berteriak berkali kali
memanggil namanya dengan keputusasaan.
Aku memanggilnya.
Namanya ....
"Aaaaarrrrgggghh!"
Kepalaku makin terasa pening dan
berdenyut hingga aku meremas rambutku dengan keras. Kilasan-kilasan itu telah
hilang dari benakku. Tapi rasa sakit yang aku rasakan tidak juga kunjung
hilang.
Aku terjatuh dari ranjangku menghantam
nakas hingga pigura di atasnya ikut terjatuh di sampingku.
Perempuan yang sedari tadi berdiri di
samping jendela kamarku, akhirnya berjalan menghampiriku yang kesakitan. Gaun
putihnya bergoyang karena kencangnya angin dingin kembali mengingatkanku bahwa
di luar masih mendung dan angin semakin ganas bertiup membawa terbang
daun-daun.
"Apa kamu sudah ingat?"
tanyanya lalu mengambil pigura yang terjatuh itu dan memandangnya sekilas
sebelum dia mengusap kaca pigura itu untuk membersihkannya dari debu.
"Sudah tiga tahun, bukan? Kenapa
kamu terus hidup seperti ini, Ren?" tanyanya lagi.
Aku terdiam, pening di kepalaku mulai
mereda dan aku terduduk lemas dilantai dan menyender pada dipan tempat tidurku.
Perempuan itu meletakkan pigura itu di ranjang lalu ikut duduk di sampingku.
Aku tidak memandang wajah sedihnya dan
memilih untuk mengatur napasku yang terengah. Aku tidak memahami ini semua. Aku
tidak tahu lagi di mana aku hidup.
Dunia nyata.
Dunia mimpi.
Ilusi.
Masa lalu atau masa kini.
Aku tidak bisa membedakannya. Aku tidak
tahu cara membedakannya.
Keheningan yang mencekap menyelimuti
kami berdua sebelum akhirnya dia kembali bertanya. "Ren, apa kamu ingin
mati?
"Ya."
"Kenapa?"
Aku mengambil jeda. Aku mencoba
memberanikan diri menoleh memandang wajahnya. Hatiku terasa perih. "Aku
... aku ingin bertemu denganmu."
Dia terdiam sejenak. "Kamu pikir
mati itu liburan?"
"Bukan liburan. Tapi lenyap
selamanya."
"Ah, lenyap ya?" balasnya
cepat. Percakapan ini sungguh terasa ganjil dan tidak alami. Ada sesuatu yang
telah pecah di sana. Aku merasa seolah aku berbicara pada diriku sendiri.
"Rendi." Dia menyebut namaku
dengan suaranya yang lembut. "Apa kamu ingat namaku?"
Tidak. Aku tidak ingat namamu.
Kenyataannya dalam tiga tahun ini aku berusaha untuk tidak menyebut namamu dan
aku hidup dalam rasa sakit dan rasa bersalah karenanya. Aku ingin lari. Karena
ketika aku menyebut namamu. Aku merasa aku membunuhmu.
"Kamu ingat namaku?" ulangnya.
Kini suaranya berubah gemetar. Dia tidak lagi menatapku dengan tenang.
Tangannya meraih pergelangan tanganku dan mencengkeramnya kuat-kuat. Wajahnya
menampilkan kesedihan dan juga amarah yang kental tertuju padaku. "Hah,
kamu tau, kamu orang paling jahat yang pernah ada! Kamu ingin melupakanku,
melenyapkanku dari hidupmu dengan melupakan namaku. Tapi kamu juga yang tidak
ingin melepaskanku dari pikiranmu."
Akhirnya dia menangis dan aku kembali
merasakan panas di mataku.
"Kenapa kamu melakukan ini,
Ren?"
"AKU MEMBUNUHMU!"
Aku berteriak. Perasaan sesak yang
membelenggu dadaku terasa semakin berat. Jantungku berdegup sangat kencang. Aku
telah mengatakan kenyataannya. Dan rasanya sungguh menyakitkan.
"Ya, kamu memang telah membunuh!
Tapi bukan aku yang kamu bunuh. Dirimu sendirilah yang kamu bunuh!"
Aku terdiam. Pandanganku menjadi kabur
dan aku menyadari aku kembali menangis.
"Hentikan." Dia berkata lalu
melepaskan genggaman tangannya. "Kenapa aku yang kamu gunakan untuk
menyiksa dirimu?"
Aku masih terdiam.
"Aku mati bukan karenamu. Aku mati
karena itu adalah takdirku." Dia meraih wajahku dan kembali mengusap air mata yang membasahi pipiku. Dia ikut menangis tapi aku tidak bisa menggapai
wajahnya. "Ren, bisakah kamu menghentikan ini? Tolong ikhlaskan aku."
"Apa yang kamu bicarakan?"
tanyaku begitu lirih.
"Aku sudah berakhir? Kamu hanya
menciptakan aku dalam pikiranmu? Jadi ... lepaskan aku."
Tangisnya semakin menjadi tapi yang
dia lakukan hanya terus mengusap mataku yang berair. "Coba ingat
namaku," lirihnya putus asa. "Sebut namaku. Seolah ia tirta amarta
bagimu. Lalu ... ikhlaskan aku. "
Aku tidak menjawab apa-apa. Dia
mendekatkan wajahnya padaku dan mengecup keningku sambil mengelus rambutku
dengan lembut. Air matanya jatuh di pipiku yang dengan perlahan dia usap dengan
tangannya. Sebelum dia melepaskan tangannya dariku. Aku meraih menggenggamnya
dengan putus asa.
"Rendi ... aku mencintaimu."
Kalimat itu terdengar begitu lirih.
Kemudian dia menjauhkan wajahnya yang kini basah oleh air mata. Tangannya yang
aku pegang perlahan lenyap menjadi titik-titik air bercahaya yang perlahan
menghilang. Dalam padanganku yang kabur karena air mata, aku melihat senyum
yang indah terukir di bibirnya. Namun dengan menyedihkan, ketika aku hendak
menyentuhnya. Dia mengilang.
"E-"
Napasku tercekat. Aku ingin
menyebut namanya. Aku ingin memanggilnya meski aku tak akan pernah bisa bertemu
dengannya.
"Erin?"
"Erin."
"Erin-Erin-Erin!"
"Erin!"
Aku menangis dengan seluruh jiwaku.
Ketika air hujan dengan derasnya akhirnya turun. Hatiku merasakan kehampaan
yang menyelimutiku bersama sakitnya tertampar oleh kepastian yang berupa
kenyataan. Dan aku harus menerima takdir Tuhan untuk melepaskanmu.
"Aku mencintaimu, Anya. Dan aku
akan selalu mencintaimu. Meski takdir tidak mengizinkanku untuk hidup bersamamu
lebih lama lagi karena Tuhan membawamu pergi dariku.
Aku akan berusaha untuk menerimanya.
Maafkan aku karena aku membenci
kehidupan ini. Dan mungkin kehidupan membenciku juga. Tapi aku akan
mencari cara untuk berdamai dengannya.
Namamu adalah air kehidupan bagiku.
Tirta amartaku. Meski mengingatnya, menyakitkan bagiku. Aku akan mengukirnya
sebagai kenangan terindah dalam hidupku.
Erin, aku mencintaimu.
Selamat tinggal."
Tamat.