Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Jumat, 28 April 2023

TIRTA AMARTA

 


Ilustrasi @Lpmsinar23 


tirta amarta; air kehidupan

"Kenyataan adalah kepastian dan takdir kehidupan adalah titah Tuhan. Takdir menjelma kenyataan telah menghadirkan bara dalam hatimu. Namun aku tak mampu menyiram panasnya. Aku juga tak mampu meredam sakitnya. Aku bukan takdirmu. Aku tidak lagi bisa menjadi tirta amarta ... dalam hidupmu."


Aku mati.

Meski aku hidup.

Aku hidup.

Tapi aku telah mati.

Sudah tiga tahun lamanya pikiranku hanya dipenuhi dengan kata 'mati' dan 'hidup'. Begitu memusingkan sampai-sampai aku hanya bisa termangu di setiap waktu. Seperti saat ini, di mana aku bahkan sudah tiga puluh menit berdiri mematung di balik jendela besar kamarku sambil menatap langit mendung yang tak kunjung menumpahkan tangisnya. Padahal awan hitam telah mengumpal begitu tebal. Cahaya matahari sampai tidak mampu menggapai permukaan tegel yang aku injak. Suhu udara pun jadi lebih dingin dari biasanya. Angin juga bertiup kencang menampar pepohonan dipekarangan.

Sungguh hari yang indah untuk mengakhiri hidup.

"Jangan diam begitu, Ren. Kamu bikin aku takut."

Aku tidak menoleh. Aku mengabaikan suara yang mengusik kesendirianku dan tetap memilih menatap langit dengan beraninya dihiasi petir yang menggelegar.

Aku tidak harus berbicara dengannya. Dia memang suka datang dengan tiba-tiba hanya untuk mengacaukan hariku yang sempurna disaat aku menikmati awan mendung yang tak kunjung menjadi hujan.

"Rendi!"

Perempuan itu meneriaki namaku. Lalu dengan begitu tidak sopannya memeluk lenganku dan menaruh wajahnya di sana.

Aku diam. Tidak berkutik.

"Rendi~"

Dia kembali menyebut namaku, kali ini dengan memberi nada menyebalkan di sana. Dia membuatku semakin tidak nyaman. Sungguh membuat sesak di dada saja.

"Kamu tidak takut petir?"

Pertanyaan lucu.

Kali ini aku menoleh menatap perempuan itu dan memandangnya dengan aneh. "Aku lebih takut kamu."

Mendengar balasanku, dia memukul perutku dan melempar lenganku dengan kesal. "Emang kamu kira aku apa?!" dengusnya tidak suka. "Aku yang secantik malaikat ini bikin kamu takut? Dasar kurang ajar!"

Dia terdiam sejenak sebelum dengan tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya menatapku menganalisis. Lalu dengan ajaibnya, dia malah tersipu malu dan tertawa dengan ganjil. Buratan merah jambu di pipinya sungguh mengganggu. Aku benci kenyataan dia tetap terlihat cantik di mataku.

"Ah! Aku tau. Kamu takut jatuh pada pesonaku, ya kan?"

"Tidak." Aku menggeleng dengan kuat.

"Iya. Katakan saja."

"Tidak."

"Iya."

"Ti-"

"Sssshhht!" Dia meletakkan jarinya di bibirku, memotong ucapanku dan tanpa kuduga dia mengecup pipiku dengan bibirnya.

Aku kembali terdiam.

Bibirnya bahkan terasa kering dan kasar. Tapi entah bagaimana itu membuat tubuhku dilanda ketegangan luar biasa. Napasku tercekat seolah-olah ada beban berat yang menghimpit dadaku. Perasaan ini begitu absurd. Aku bahkan tidak tau harus menamai perasaan sakit dan menggelitik ini sebagai apa. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikannya. Dan memang itu kenyataanya. Tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaan manusia.

Ah ... Aku jadi semakin ingin mati.

Mencoba menghela napas, sesak di dadaku semakin memuncak. Mataku mulai terasa panas dan pandanganku menjadi kabur.

Aku benci ketika aku merasa lemah.

Aku benci perasaan ini.

"Astaga!" Dia terpekik. "Kamu menangis?!" Katanya begitu keheranan. "Kamu menangis karena aku cium?! Sungguh laki-laki payah."

Apa aku menangis?  "Siapa yang menangis?"

"Kamu!"

Dan benar saja, pipiku terasa basah tanpa benar-benar aku sadari. Segera aku usap kelopak mataku dan memalingkan wajah. Kenapa aku menangis? Tidak. Tidak mungkin. "Hentikan omong kosongmu. Aku tidak menangis," kataku bersikeras.

Tapi respon yang aku dapatkan sungguh berbeda dari yang aku duga. Atmosfer berubah menjadi begitu suram seketika. Sama seperti mendung yang kian menggelap di luar jendela sana. Tangan lembut perempuan itu menangkup kedua pipiku. Matanya memandangku dengan pandangan berjuta arti yang tidak mampu aku pahami. Suasana berubah semakin tidak tertahankan bagiku. Dia bersedih dan aku hancur terjatuh untuk sekian kalinya dalam kubangan keputusasaan.

"Kamu menangis." Dia berkata dengan begitu lirih mengusap air mata yang mengalir di pipiku.

Tersentak dengan apa yang terjadi, buru-buru aku menepis tangannya. Aku berjalan menjauh dari jendela kamarku dan terduduk di ranjang.

Hentikan. Aku tidak tahan dengan tekanan ini lagi. Aku hanya ingin mati!

Mataku menangkap pigura yang tergeletak terbalik di atas nakas. Pigura yang membingkai foto yang tak mampu lagi kupandangi dengan cara yang sama ketika semua terasa bahagia.

"Karena di foto itu... ada aku."

Sengatan rasa pening datang tiba-tiba menyerang kepalaku. Bau anyir darah menyusul mengguar dari tanganku. Disusul rasa sakit yang menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Aku gemetar hebat. Semuanya begitu menakutkan. Gelap. Kelam. Dan mencekam. Ingatan mengerikan datang seperti badai yang menerjang kepalaku. Aku meringis kesakitan ketika akhirnya kilasan-kilasan mengerikan muncul semakin jelas terlihat dalam benakku.

Di sana ...

Dalam benakku, aku melihat diriku berdiri di tepi jalan yang ramai dan tampak sibuk di sore hari. Aku menunggu kedatangan seseorang yang sangat kukasihi untuk sebuah kencan yang telah kami janjikan.

Aku terlihat sangat bahagia saat itu. Hingga dengan senyum bodoh aku terus memandangi cincin mungil dalam kotak beludru yang aku pegang.

Aku akan melamar perempuan itu.

Aku telah bertekat. Akan aku jadikan dia perempuanku. Untukku seorang. Dan untuk selama sisa hidupku.

Lalu akhirnya aku melihat sosoknya di tepi jalan sana. Dia tersenyum lebar ketika melihatku. Senyum yang sangat indah dan aku rindukan.

"Aaarrrgh!" Aku meringis memegang kepalaku ketika sengatan menyakitkan di kepalaku semakin menjadi. Kilasan yang aku lihat kini berubah buram. Merah. Dan berputar-putar acak.

Menghela napas, aku mencoba untuk tenang  dan kilasan itu kembali terlihat. Di saat aku masih berdiri di tepi jalan dan melihat perempuan itu di seberang.

Namanya.

Aku memanggil namanya. Namun aku tidak mengingat apapun, aku tidak sanggup mengingatnya.

Lalu aku memberi isyarat dengan melambaikan tanganku meminta pada perempuan itu untuk menyebrang jalan untuk menghampiriku. Dengan bahagia dia menyambut isyaratku dan mulai berjalan mendekat. Namun hal yang tak pernah aku duga terjadi ketika entah dari mana truk melintas dengan begitu cepatnya menabrak sosok perempuan itu.

Napasku terhenti untuk sepersekian detik. Rasanya duniaku baru saja runtuh tepat di depan mataku.

"Seharusnya aku tidak memintamu datang menemuiku."

"Seharusnya kita tidak perlu berkencan di malam itu."

Tubuhku membeku dan jantungku berdegup dengan cara yang menyakitkan. Mataku memandang dengan kabur sosok perempuan yang aku kasihi terbaring di atas aspal hitam yang tergenang oleh darah merah segar.

Semua terlihat begitu lambat ketika aku berlari meraih tubuhnya. Aku memanggil namanya. Aku berteriak berkali kali memanggil namanya dengan keputusasaan.

Aku memanggilnya.

Namanya ....

"Aaaaarrrrgggghh!"

Kepalaku makin terasa pening dan berdenyut hingga aku meremas rambutku dengan keras. Kilasan-kilasan itu telah hilang dari benakku. Tapi rasa sakit yang aku rasakan tidak juga kunjung hilang.

Aku terjatuh dari ranjangku menghantam nakas hingga pigura di atasnya ikut terjatuh di sampingku.

Perempuan yang sedari tadi berdiri di samping jendela kamarku, akhirnya berjalan menghampiriku yang kesakitan. Gaun putihnya bergoyang karena kencangnya angin dingin kembali mengingatkanku bahwa di luar masih mendung dan angin semakin ganas bertiup membawa terbang daun-daun.

"Apa kamu sudah ingat?" tanyanya lalu mengambil pigura yang terjatuh itu dan memandangnya sekilas sebelum dia mengusap kaca pigura itu untuk membersihkannya dari debu.

"Sudah tiga tahun, bukan? Kenapa kamu terus hidup seperti ini, Ren?" tanyanya lagi.

Aku terdiam, pening di kepalaku mulai mereda dan aku terduduk lemas dilantai dan menyender pada dipan tempat tidurku. Perempuan itu meletakkan pigura itu di ranjang lalu ikut duduk di sampingku.

Aku tidak memandang wajah sedihnya dan memilih untuk mengatur napasku yang terengah. Aku tidak memahami ini semua. Aku tidak tahu lagi di mana aku hidup.

Dunia nyata.

Dunia mimpi.

Ilusi.

Masa lalu atau masa kini.

Aku tidak bisa membedakannya. Aku tidak tahu cara membedakannya.

Keheningan yang mencekap menyelimuti kami berdua sebelum akhirnya dia kembali bertanya. "Ren, apa kamu ingin mati?

"Ya."

"Kenapa?"

Aku mengambil jeda. Aku mencoba memberanikan diri menoleh memandang wajahnya. Hatiku terasa perih. "Aku ... aku ingin bertemu denganmu."

Dia terdiam sejenak. "Kamu pikir mati itu liburan?"

"Bukan liburan. Tapi lenyap selamanya."

"Ah, lenyap ya?" balasnya cepat. Percakapan ini sungguh terasa ganjil dan tidak alami. Ada sesuatu yang telah pecah di sana. Aku merasa seolah aku berbicara pada diriku sendiri.

"Rendi." Dia menyebut namaku dengan suaranya yang lembut. "Apa kamu ingat namaku?"

Tidak. Aku tidak ingat namamu. Kenyataannya dalam tiga tahun ini aku berusaha untuk tidak menyebut namamu dan aku hidup dalam rasa sakit dan rasa bersalah karenanya. Aku ingin lari. Karena ketika aku menyebut namamu. Aku merasa aku membunuhmu.

"Kamu ingat namaku?" ulangnya. Kini suaranya berubah gemetar. Dia tidak lagi menatapku dengan tenang. Tangannya meraih pergelangan tanganku dan mencengkeramnya kuat-kuat. Wajahnya menampilkan kesedihan dan juga amarah yang kental tertuju padaku. "Hah, kamu tau, kamu orang paling jahat yang pernah ada! Kamu ingin melupakanku, melenyapkanku dari hidupmu dengan melupakan namaku. Tapi kamu juga yang tidak ingin melepaskanku dari pikiranmu."

Akhirnya dia menangis dan aku kembali merasakan panas di mataku.

"Kenapa kamu melakukan ini, Ren?"

"AKU MEMBUNUHMU!"                                        

Aku berteriak. Perasaan sesak yang membelenggu dadaku terasa semakin berat. Jantungku berdegup sangat kencang. Aku telah mengatakan kenyataannya. Dan rasanya sungguh menyakitkan.

"Ya, kamu memang telah membunuh! Tapi bukan aku yang kamu bunuh. Dirimu sendirilah yang kamu bunuh!"

Aku terdiam. Pandanganku menjadi kabur dan aku menyadari aku kembali menangis.

"Hentikan." Dia berkata lalu melepaskan genggaman tangannya. "Kenapa aku yang kamu gunakan untuk menyiksa dirimu?"

Aku masih terdiam.

"Aku mati bukan karenamu. Aku mati karena itu adalah takdirku." Dia meraih wajahku dan kembali mengusap air mata yang membasahi pipiku. Dia ikut menangis tapi aku tidak bisa menggapai wajahnya. "Ren, bisakah kamu menghentikan ini? Tolong ikhlaskan aku."

"Apa yang kamu bicarakan?" tanyaku begitu lirih.

"Aku sudah berakhir? Kamu hanya menciptakan aku dalam pikiranmu? Jadi ... lepaskan aku."

Tangisnya semakin menjadi tapi yang dia lakukan hanya terus mengusap mataku yang berair. "Coba ingat namaku," lirihnya putus asa. "Sebut namaku. Seolah ia tirta amarta bagimu.  Lalu ... ikhlaskan aku. "

Aku tidak menjawab apa-apa. Dia mendekatkan wajahnya padaku dan mengecup keningku sambil mengelus rambutku dengan lembut. Air matanya jatuh di pipiku yang dengan perlahan dia usap dengan tangannya. Sebelum dia melepaskan tangannya dariku. Aku meraih menggenggamnya dengan putus asa.

"Rendi ... aku mencintaimu."

Kalimat itu terdengar begitu lirih. Kemudian dia menjauhkan wajahnya yang kini basah oleh air mata. Tangannya yang aku pegang perlahan lenyap menjadi titik-titik air bercahaya yang perlahan menghilang. Dalam padanganku yang kabur karena air mata, aku melihat senyum yang indah terukir di bibirnya. Namun dengan menyedihkan, ketika aku hendak menyentuhnya. Dia mengilang.

"E-"

Napasku tercekat. Aku ingin  menyebut namanya. Aku ingin memanggilnya meski aku tak akan pernah bisa bertemu dengannya.

"Erin?"

"Erin."

"Erin-Erin-Erin!"

"Erin!"

Aku menangis dengan seluruh jiwaku. Ketika air hujan dengan derasnya akhirnya turun. Hatiku merasakan kehampaan yang menyelimutiku bersama sakitnya tertampar oleh kepastian yang berupa kenyataan. Dan aku harus menerima takdir Tuhan untuk melepaskanmu.

 

"Aku mencintaimu, Anya. Dan aku akan selalu mencintaimu. Meski takdir tidak mengizinkanku untuk hidup bersamamu lebih lama lagi karena Tuhan membawamu pergi dariku.

Aku akan berusaha untuk menerimanya.

Maafkan aku karena aku membenci kehidupan ini. Dan mungkin kehidupan membenciku juga. Tapi aku akan mencari cara untuk berdamai dengannya.

Namamu adalah air kehidupan bagiku. Tirta amartaku. Meski mengingatnya, menyakitkan bagiku. Aku akan mengukirnya sebagai kenangan terindah dalam hidupku.

Erin, aku mencintaimu.

Selamat tinggal."

 

Tamat.

 

Read more ...

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm