Ilustrasi @Lpmsinar22
Pandemi
Covid-19, pandemi yang berhasil mengejutkan Indonesia dan seluruh dunia
beberapa tahun yang lalu. Pandemi yang merenggut ratusan ribu jiwa, dan bahkan
berhasil memporak-porandakan perekonomian hingga pendidikan Indonesia. Namun
ketika mendengar kata covid-19, bukan itu semua yang aku ingat. Ada satu hal
yang baru aku ingat beberapa hari yang lalu saat bercerita dengan paman
mengenai masa lalu, yaitu sebuah kenangan yang sangat berharga. Cerita ini
hanya tentang perjuangan Bapak—beliau yang sudah tiada tiga tahun yang lalu
karena penyakit paru-parunya.
Solo, tahun
2020, saat itu tidak sepadat dan seramai saat ini, dulu masih satu dua bangunan
besar yang dibangun, namun sekarang hampir setiap tempat dipenuhi gedung-gedung
pencakar langit. Tahun itu, sekitar pertengahan bulan maret—Aku lupa tanggal
berapa dan hari apa—yang pasti umurku masih 14 tahun, saat itu Aku dan Bapak
masih tinggal di gubuk kecil.
Tahun 2020,
kehidupanku belum senyaman saat ini. Namun namaku tentu masih sama. Bapak
memberiku nama Bahir, yang artinya bersinar. Mungkin beliau memang ingin Aku
menjadi orang yang seperti itu. Hingga hari ini Aku mampu menebus semua
perjuangan Bapak, perjuangan beliau untuk menjadikanku seorang guru.
Cerita ini
bermula saat pandemi Covid-19 memaksa kami untuk berjuang lebih keras.
***
Solo, 2020
Bahir berlari
tergesa-gesa melewati persawahan yang becek.
Kaki dan celana birunya sudah dipenuhi lumpur saat ia sampai di halaman depan
gubuknya. Untung saja ia sempat melepas sepatunya, karena jika tidak siap-siap
saja ia terkena omelan dari Bapaknya.
“Bapak!” teriak
Bahir keras dengan harapan bapaknya segera datang. Dan benar saja, sang bapak
langsung datang terburu-buru dengan sarung masih di atas lutut.
“Ada apa, le?” Tanya Abdul—bapak bocah laki-laki
itu.
“Kapan bapak
akan membelikanku Handphone? Sudah
dari 1 tahun yang lalu Bapak mengiyakan, namun sampai hari tidak juga
dibelikan” Ucap Bahir panjang kali lebar mengungkapkan keluh kesahnya.
Abdul tersenyum
tipis “Bapak lagi nggak ada uang le,
pandemi ini membuat langganan becak bapak sepi”
Raut wajah
Bahir berubah murung “Terus Bahir sekolah online
besok gimana pak?”
Abdul mengusap
puncak kepala Bahir lembut. Tidak tega juga sebenarnya ia melihat anaknya harus
kesulitan sekolah karena tidak memiliki alat belajar yang memadai di rumah.
Namun apalah daya, memang beginilah keadaannya sekarang, untuk makan
sehari-hari saja hampir tidak pernah cukup. Hidup mereka secari awal sudah
susah, namun pandemi ini membuat keadaan mereka menjadi lebih susah dan memaksa
mereka mau tidak mau bekerja lebih keras dari orang lain.
“Nanti bapak
akan usahakan, le! Nanti bapak akan
coba tanyakan ke kampung sebelah apakah ada komputer yang bisa dipinjam dengan
harga murah
Itulah kalimat
terakhir dari Abdul sebelum pergi dan masuk kembali ke dalam gubuk. Bahir
menatap punggung bungkuk Bapaknya dengan mata berkaca-kaca. Ia mendadak merasa
bersalah, hatinya tiba-tiba sakit mengingat sorot mata teduh Bapaknya saat
mengatakan bahwa beliau akan mengusahakan semuanya.
Pagi itu, sekitar
pukul 3 dini hari, saat Bahir masih tertidur lelap di kamarnya. Abdul diam-diam
pergi ke kampung sebelah dengan menggunakan sepeda onthel tua miliknya. Jalanan masih gelap dan sepi. Abdul merapatkan
sarung yang melilit tubuhnya karena udara yang begitu dingin berhasil membuat
tubuhnya menggigil. Namun ia harus tetap bersabar, karena jarak kampungnya dan
tempat tujuannya sangat jauh, yaitu kurang lebih 3 km.
Sepeda onthel Abdul berhenti, matanya menatap
sekeliling bangunan bercat hijau di depannya. Masih ada tulisan close di pintunya. Abdul memutuskan
untuk menunggu, ia duduk di kursi depan pintu sambil menyandarkan kepalanya.
Namun kantuknya datang tiba-tiba.
“Permisi, pak!”
Abdul seketika
tersadar dari tidurnya saat sebuah tangan menepuk-nepuk pundaknya.
“Eh iya mas,
maaf ya saya ketiduran disini” ucap Abdul.
“Iya tidak
apa-apa pak, monggo masuk dulu ke dalam, diluar dingin” Seorang pemuda berkaos
putih dengan sopan mempersilahkan Abdul masuk.
Abdul duduk di
kursi sambil tidak berhenti menatap sekeliling dengan takjub. Tidak seperti
gubuk kecilnya, ruangan yang saat ini ia tempati sangat bagus dan modern.
Terdapat sekitar dua puluh komputer yang berjajar rapi layaknya warnet-warnet
biasanya.
“Ada keperluan
apa ya, pak?”
Abdul menelan
ludah, sedikit ragu ingin bertanya.
“Untuk menyewa
komputer disini berapa ya mas?” Tanya Abdul.
“1 jam nya 3
ribu pak, kalau untuk 1 hari full 60 ribu”
Abdul terdiam,
menghitung-hitung penghasilan yang ia dapatkan dari menarik becak. Nihil,
hasilnya tetap tidak cukup. Semenjak pandemi, satu hari saja terkadang ia hanya
mendapatkan uang 3 ribu dan bahkan terkadang tidak mendapatkan penumpang sama
sekali.
“Disini buka
lowongan pekerjaan nggak mas? Pekerjaan apapun nggak masalah” Abdul tidak bisa
menyerah begitu saja.
“Oh iya ada
pak, kebetulan teman saya yang biasanya bagian bersih-bersih sedang izin cuti
satu bulan”
Senyum Abdul
merekah “Kira-kira gajinya berapa ya, mas?”
“Kalau
itu....biasanya hanya 20 sampai 25 ribu-an perhari pak. Itu pun kami tidak bisa
setiap hari memberi, soalnya terkadang sepi pelanggan. Yakin bapak mau?” Tanya
Ahmad. Ragu jika Abdul mau menerima pekerjaan dengan gaji yang terbilang sangat
sedikit. Namun siapa sangka, Abdul justru mengangguk keras.
“Mau banget,
Mas. Tapi boleh nggak anak saya pakai satu komputernya? Potong gaji saya enggak
apa-apa deh, Mas”
“Boleh, Pak.
Nanti saya potong sesuai dengan waktu anak bapak memakai komputernya saja.
Bapak bisa mulai datang besok”
Senyum Abdul
semakin mengembang “Matur nuwun ya,
Mas”
“sami sami, Pak”
Abdul segera
mengayuh sepeda onthel-nya dengan
cepat. Tidak peduli dengan kakinya yang mulai lelah dan perutnya yang sedari
tadi keroncongan, ia terus mengayuh sepedanya dengan semangat . Ia hanya ingin
secepatnya sampai ke gubuk untuk menyampaikan kabar baik ini kepada sang anak.
“Le, le! Bapak pulang!” Teriak Abdul saat
baru saja memarkirkan sepeda onthel-nya.
Bahir yang mendengar teriakan bapaknya segera berlari keluar.
“Bapak dari
mana, toh? Kok pergi pagi-pagi nggak
pamit ke Bahir? Bapak habis narik?” Bahir langsung memberondong sang bapak
dengan banyak pertanyaan.
Abdul mengusap
lembut puncak kepala Bahir “Bapak udah dapat sewaan komputer, le! Besok ayo pergi kesana sama-sama”
Bahir
membelalak. “Hah? Benar pak?”
Abdul
mengangguk. Ikut senang melihat raut wajah bahagia anaknya.
“Tapi uangnya
gimana, Pak? Bapak besok harus narik becak juga kan?”
Abdul
menggeleng pelan, “Sudah jangan dipikirin, itu biar bapak yang urus! Yang penting
kamu sekolahnya yang rajin, katanya kamu ingin jadi guru?”
Bahir
mengangguk semangat, senyumnya merekah sempurna. Rasa takut dan khawatir yang
semula menyelimuti hatinya, kini menghilang seketika. Ia menatap bapaknya
dengan lekat, kemudian tanpa ragu ia memeluk bapaknya dengan erat.
“Makasih
banyak, Pak! Makasih banyak! Bahir janji akan sekolah yang rajin, supaya bisa
jadi guru dan bisa bawa bapak hidup nyaman dan enak, biar bapak juga tidak usah
narik becak lagi. Bahir janji, Pak!” Ucap Bahir lirih dengan mata mulai
berkaca-kaca. Hanya kalimat itu yang bisa ia berikan untuk bapaknya saat ini.
Keesokan
harinya, mereka berangkat kesana menggunakan sepeda onthel. Bahir akhirnya bisa sekolah seperti biasanya dengan bantuan
komputer sewaan disana. Ia berusaha belajar dengan giat agar tidak mengecewakan
bapaknya. Namun, dia tak tahu apa yang dilakukan bapaknya disana kala itu. Tak
peduli lelah dan letih, serta kantuk karena kurang tidur, Abdul terus
bersih-bersih di ruangan samping tempat Bahir berada. Bahkan saat debu membuat
asmanya kambuh atau sakit punggungnya yang semakin parah.
Tahun ini,
dibalik kerasnya kehidupan sebab pandemi Covid-19, Bahir justru mendapatkan
hadiah dan pelajaran istimewa dan paling berharga dalam hidupnya, yakni
perjuangan bapaknya.