Angin yang nakal menggoda reranting pohon sampai daun
kekuningannya jatuh beramai-ramai. Daun-daun itu terjun berputar-putar dengan
lembut hingga tiba pada tanah lembab kecoklatan sehabis hujan.
Apakah selamat tinggal telah daun ucapkan pada ranting?
Pikirku tergelitik.
Suasana sore hari tampak damai sejauh ini. Udara terasa dingin
menyelimuti. Aroma tanah pun menyentuh hidungku membawa kenangan-kenangan indah
muncul menemani langkah kecilku. Tampaknya, kembali pulang bukanlah hal yang
buruk. Yah, itulah perasaanku saat ini. Membawa sejuta rindu dan berharap
kepulanganku kali ini dapat membayar semua tumpukan rindu yang kukoleksi dalam hatiku
yang terasa sesak.
Aku pulang.
Kembali pada rumah yang lama kutinggalkan.
Tidak terasa langkahku terhenti ketika menyadari aku tiba di
depan pekarangan. Di sana banyak ditanam pohon mangga dan bunga-bunga hias yang
tampak sangat rimbun di pagar dan juga di teras.
Rumah ini masih tampak asri.
Namun, pikiran lucu terlintas dalam benakku. Apakah rumah ini
masih bisa kusebut rumah?
Aku bukan lagi penghuni rumah ini. Semua sudah terasa asing di
sini.
Rumah ini terasa sepi. Terasa kosong.
Hampa.
Aku mencoba mengenyahkan perasaan menyebalkan dari dalam hatiku
lalu menaiki undakan. Namun, ketika aku mencoba membuka pintu, pintu itu malah
terbuka dengan sendirinya dan menampakkan sosok jangkung seorang pria yang tak
pernah kuduga akan kujumpai.
"Kaila."
Aku terdiam. Terkejut. Bingung. Semua perasaan menyatu dengan
anehnya ketika aku mendengar suara pria itu menyambut telingaku. Jantungku
berdegup sangat kencang seakan ia melompat naik ke tenggorokan. Aku terperangah
dengan napas tertahan menatap sosok yang kini berdiri di hadapanku.
"A-Adrian?" lirihku membekap mulutku tidak percaya.
"Kamu--" ucapanku terhenti, ketika Adrian malah menarik tanganku dan
membawaku ke dalam rumah.
"Duduklah," katanya dengan manis memintaku duduk di
sofa ruang tamu.
"Kamu gila!" Semua perasaan aneh itu menguap oleh
emosi. Marah adalah hal pertama yang aku lampiaskan padanya. Aku memekik dan
menarik tanganku dari genggamannya.
Aku tidak habis pikir. Aku juga tidak mengerti dengan situasi
ini. Kenapa dia di sini? Kenapa dia kembali? Sejuta pertanyaan berputar-putar
di kepalaku seperti kaset rusak.
Sungguh terasa menyakitkan.
Adrian tersenyum kecut. "Kamu tidak senang melihatku,
Kai?" tanyanya. Terdengar nada sedih di sana. "Kamu tidak senang
melihat suamimu kembali?"
Aku mendengus. "Untuk apa aku mengingat pria yang menghilang
tanpa kabar?" sindirku.
Wajah Adrian menampilkan ekspresi menyesal. "Maafkan aku.
Aku tidak bisa kembali tepat waktu."
Aku merasa bodoh. Mengapa aku mau bicara dengan pria sinting satu
ini. Aku bodoh mengharapkannya untuk kembali. Seharusnya dari awal aku tak
perlu percaya kata-katanya yang bilang hanya pergi sebentar--untuk sementara.
Karena nyatanya dia tak pernah kembali.
Dia juga tidak pernah sekalipun memberi kabar.
Seakan daun kering yang meninggalkan ranting. Dia hilang bersama
angin. Lenyap tak berjejak dan meninggalkanku tanpa kata 'selamat tinggal'.
Tapi kenapa?!
Kenapa dia dengan kejamnya muncul di rumah ini?!
Rumah yang sudah tak lagi aku anggap rumah. Rumah yang dia
janjikan untuk membangun pernikahan bahagia bersama dan membangun keluarga yang
hangat yang nyatanya hanya omong kosong belaka.
Rumah ini sudah asing. Tak ada aromamu yang tertinggal di sini.
"Terlambat," kataku menahan sedih di pelupuk mata.
"Kamu tidak perlu lagi minta maaf."
"Kai." Dia kembali menarik tanganku. "Banyak hal
yang tak bisa aku katakan padamu. Banyak kejadian di luar sana yang menimpaku
hingga aku tidak sanggup memberitahumu."
Aku memilih diam.
Namun tangisku akhirnya jatuh. Tanpa aku sadar, aku tenggelam
dalam pelukan Adrian. Dia mendekapku, erat. Begitu erat hingga rasanya air
mataku sedang diperas olehnya hingga membanjiri pelupuk mataku.
Aku menangis semakin menjadi, tidak bisa menahan diri untuk
akhirnya membalas pelukannya yang sialnya sangat aku rindukan.
"Kaila, aku merindukanmu," bisiknya di telingaku
sembari mengeratkan pelukannya. "Aku mencintaimu," ucapnya lagi
menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. "Maafkan aku. Maafkan aku,
Kaila."
Mencoba menarik napas dan menenangkan diri sebelum aku mendorong
pelan tubuhnya dan menangkup wajah Adrian yang penuh penyesalan. Matanya yang
tampak berkaca-kaca menatapku dengan dalam. Dia lalu menangkap tanganku dan
menciumnya. Butir air mata pun jatuh perlahan di wajahnya yang kasar.
"Kai, ikut aku," pintanya mengajakku berdiri dari
dudukku.
Adrian menggenggam tanganku dengan erat seolah dia tak ingin
melepaskannya. Diam-diam aku tersenyum geli. Aku sadar aku masih sangat
menyayanginya.
Punggung Adrian tampak kokoh. Menatap punggung lebarnya
selalu mengingatkanku pada setiap kerja kerasnya untuk menghidupiku. Menghidupi
rumah kecil ini. Aku jadi teringat bagaimana dulu kami pertama kali tinggal di
sini. Saat di mana semua masih terasa bahagia.
"Kai, kamu ingat? Kamu selalu memasakkan nasi goreng
untukku," ucap Adrian ketika kami melewati dapur. "Kamu dulu sangat
payah. Terkadang nasi goreng buatanmu terlalu asin, kadang terlalu
hambar."
Aku memukul pundaknya dan mendengus kesal. "Tapi pada
akhirnya kamu selalu menghabiskannya, kan?" kataku membela diri.
Kini Adrian menghela tubuhku merapat padanya. Dia terkekeh geli.
"Itu karena kalau aku tidak menghabiskannya, kamu akan memaksaku tidur
sendirian di ruang tamu."
"Adrian!" pekikku mencubit pinggangnya yang hanya dia
balas dengan tawa.
Memalingkan pandangan dengan kesal, aku memilih untuk menatap ke
sekeliling rumah. Aku mendapati diriku terkejut menyadari rumah ini masih
terlihat sama. Padahal aku sudah meninggalkan rumah ini kosong selama hampir
setahun lamanya.
Aku melangkah, mendekati perabotan perabotan yang terletak di
ruang makan. Furnitur dan perabotan yang ada masih tersusun rapi seperti dulu.
Cat tembok pucat berwana putih gading juga masih menghiasi sekeliling rumah
ini.
"Kaila?" Adrian memanggil namaku menyadarkanku dari
lamunan.
Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum lembut padaku. Lalu seolah
jutaan perasaan berkelebat menyerang jiwaku, tubuhku gemetar merasakan
kehangatan yang ganjil. Entah bagaimana semua yang ada di rumah ini mulai
terasa familier. Rumah yang aku anggap asing kini bisa lagi aku kenali.
Aku sadar keberadaan Adrian lah yang membuatku merasakan
kehangatan ini. Kehangatan sebuah rumah. Adrian adalah rumahku.
Dia adalah tempatku untuk pulang.
"Kaila." Adrian kembali memanggil namaku. Kini dia
berjalan mendekatiku dan kembali menggenggam tanganku. "Ayo kita ke taman
belakang," katanya lalu menggiringku melangkah menuju halaman belakang
rumah.
Di taman belakang aku bisa melihat indahnya matahari sore di
balik pohon-pohon rindang. Banyak bunga-bunga hias dan pohon yang juga di tanam
di sini yang menambah keindahan yang ada.
"Ini tempat favoritmu menikmati waktu bersamaku,
bukan?"
"Ya," kataku tapi aku tak sanggup menatap Adrian yang
berdiri di sampingku.
Menyadari kenyataan bahwa Adrian adalah alasanku kembali
merasakan kehangatan membuat jantungku berdegup abnormal. Rasanya begitu
menyakitkan ketika aku harus menahan keputusasaan dalam jiwaku ini.
Keputusasaan bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.
"Kamu selalu malas saat aku menyuruhmu merapikan halaman
belakang. Kamu akan membuat banyak alasan untuk tidak membantuku menyiram bunga
atau memotong rumput liar," kataku mulai mengoceh.
"Kamu berjanji padaku akan membelikanku bibit bunga amarilis
dan bunga mawar untuk kita tanam di sini. Tapi kamu tidak pernah menepati
janjimu padaku, Adrian."
Tubuhku mulai merasa dingin. Rasa familier itu berangsur-angsur
hilang digantikan oleh rasa keputusasaan yang akut dan tak tertahankan. Mataku
mulai terasa panas dan aku masih berusaha menahan tangis jatuh di pelupuk
mataku berulang-kali.
"Apa kamu juga ingat? ... kamu pernah berjanji padaku untuk
menjaga diri baik-baik. Tapi kenyataannya kamu tidak bisa menepati janjimu
itu."
Namun aku tidak sanggup lagi. Air mataku pun tumpah ruah tanpa
bisa aku tahan ketika aku menoleh ke samping.
Di sana sudah tidak ada seorang pun yang berdiri di sampingku.
Kesadaran bahwa keberadaan pria yang sangat kucintai itu tak pernah ada
bersamaku. Benar-benar memukul hatiku hingga sakitnya tak bisa
kugambarkan.
"Mengapa kamu meninggalkanku Adrian?"
"Mengapa kamu meninggalkan dunia ini?"
"Mengapa kamu harus mati?!"
Lirihku mendapati bayangan pria itu telah lenyap bersama matahari
sore hari.
Dan sekali lagi.
Rumah ini ... kembali terasa asing.
Tamat.