Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Jumat, 05 Mei 2023

RUMAH

 


Ilustrasi@lpmsinar23


Angin yang nakal menggoda reranting pohon sampai daun kekuningannya jatuh beramai-ramai. Daun-daun itu terjun berputar-putar dengan lembut hingga tiba pada tanah lembab kecoklatan sehabis hujan.

Apakah selamat tinggal telah daun ucapkan pada ranting? Pikirku tergelitik.

Suasana sore hari tampak damai sejauh ini. Udara terasa dingin menyelimuti. Aroma tanah pun menyentuh hidungku membawa kenangan-kenangan indah muncul menemani langkah kecilku. Tampaknya, kembali pulang bukanlah hal yang buruk. Yah, itulah perasaanku saat ini. Membawa sejuta rindu dan berharap kepulanganku kali ini dapat membayar semua tumpukan rindu yang kukoleksi dalam hatiku yang terasa sesak.

Aku pulang.

Kembali pada rumah yang lama kutinggalkan.

Tidak terasa langkahku terhenti ketika menyadari aku tiba di depan pekarangan. Di sana banyak ditanam pohon mangga dan bunga-bunga hias yang tampak sangat rimbun di pagar dan juga di teras.

Rumah ini masih tampak asri.

Namun, pikiran lucu terlintas dalam benakku. Apakah rumah ini masih bisa kusebut rumah?

Aku bukan lagi penghuni rumah ini. Semua sudah terasa asing di sini.

Rumah ini terasa sepi. Terasa kosong.

Hampa.

Aku mencoba mengenyahkan perasaan menyebalkan dari dalam hatiku lalu menaiki undakan. Namun, ketika aku mencoba membuka pintu, pintu itu malah terbuka dengan sendirinya dan menampakkan sosok jangkung seorang pria yang tak pernah kuduga akan kujumpai.

"Kaila."

Aku terdiam. Terkejut. Bingung. Semua perasaan menyatu dengan anehnya ketika aku mendengar suara pria itu menyambut telingaku. Jantungku berdegup sangat kencang seakan ia melompat naik ke tenggorokan. Aku terperangah dengan napas tertahan menatap sosok yang kini berdiri di hadapanku.

"A-Adrian?" lirihku membekap mulutku tidak percaya. "Kamu--" ucapanku terhenti, ketika Adrian malah menarik tanganku dan membawaku ke dalam rumah.

"Duduklah," katanya dengan manis memintaku duduk di sofa ruang tamu.

"Kamu gila!" Semua perasaan aneh itu menguap oleh emosi. Marah adalah hal pertama yang aku lampiaskan padanya. Aku memekik dan menarik tanganku dari genggamannya.

Aku tidak habis pikir. Aku juga tidak mengerti dengan situasi ini. Kenapa dia di sini? Kenapa dia kembali? Sejuta pertanyaan berputar-putar di kepalaku seperti kaset rusak.

Sungguh terasa menyakitkan.

Adrian tersenyum kecut. "Kamu tidak senang melihatku, Kai?" tanyanya. Terdengar nada sedih di sana. "Kamu tidak senang melihat suamimu kembali?"

Aku mendengus. "Untuk apa aku mengingat pria yang menghilang tanpa kabar?" sindirku.

Wajah Adrian menampilkan ekspresi menyesal. "Maafkan aku. Aku tidak bisa kembali tepat waktu."

Aku merasa bodoh. Mengapa aku mau bicara dengan pria sinting satu ini. Aku bodoh mengharapkannya untuk kembali. Seharusnya dari awal aku tak perlu percaya kata-katanya yang bilang hanya pergi sebentar--untuk sementara.

Karena nyatanya dia tak pernah kembali.

Dia juga tidak pernah sekalipun memberi kabar.

Seakan daun kering yang meninggalkan ranting. Dia hilang bersama angin. Lenyap tak berjejak dan meninggalkanku tanpa kata 'selamat tinggal'.

Tapi kenapa?!

Kenapa dia dengan kejamnya muncul di rumah ini?!

Rumah yang sudah tak lagi aku anggap rumah. Rumah yang dia janjikan untuk membangun pernikahan bahagia bersama dan membangun keluarga yang hangat yang nyatanya hanya omong kosong belaka.

Rumah ini sudah asing. Tak ada aromamu yang tertinggal di sini.

"Terlambat," kataku menahan sedih di pelupuk mata. "Kamu tidak perlu lagi minta maaf."

"Kai." Dia kembali menarik tanganku. "Banyak hal yang tak bisa aku katakan padamu. Banyak kejadian di luar sana yang menimpaku hingga aku tidak sanggup memberitahumu."

Aku memilih diam.

Namun tangisku akhirnya jatuh. Tanpa aku sadar, aku tenggelam dalam pelukan Adrian. Dia mendekapku, erat. Begitu erat hingga rasanya air mataku sedang diperas olehnya hingga membanjiri pelupuk mataku.

Aku menangis semakin menjadi, tidak bisa menahan diri untuk akhirnya membalas pelukannya yang sialnya sangat aku rindukan.

"Kaila, aku merindukanmu," bisiknya di telingaku sembari mengeratkan pelukannya. "Aku mencintaimu," ucapnya lagi menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. "Maafkan aku. Maafkan aku, Kaila."

Mencoba menarik napas dan menenangkan diri sebelum aku mendorong pelan tubuhnya dan menangkup wajah Adrian yang penuh penyesalan. Matanya yang tampak berkaca-kaca menatapku dengan dalam. Dia lalu menangkap tanganku dan menciumnya. Butir air mata pun jatuh perlahan di wajahnya yang kasar.

"Kai, ikut aku," pintanya mengajakku berdiri dari dudukku.

Adrian menggenggam tanganku dengan erat seolah dia tak ingin melepaskannya. Diam-diam aku tersenyum geli. Aku sadar aku masih sangat menyayanginya.

Punggung Adrian tampak kokoh.  Menatap punggung lebarnya selalu mengingatkanku pada setiap kerja kerasnya untuk menghidupiku. Menghidupi rumah kecil ini. Aku jadi teringat bagaimana dulu kami pertama kali tinggal di sini. Saat di mana semua masih terasa bahagia.

"Kai, kamu ingat? Kamu selalu memasakkan nasi goreng untukku," ucap Adrian ketika kami melewati dapur. "Kamu dulu sangat payah. Terkadang nasi goreng buatanmu terlalu asin, kadang terlalu hambar."

Aku memukul pundaknya dan mendengus kesal. "Tapi pada akhirnya kamu selalu menghabiskannya, kan?" kataku membela diri.

Kini Adrian menghela tubuhku merapat padanya. Dia terkekeh geli. "Itu karena kalau aku tidak menghabiskannya, kamu akan memaksaku tidur sendirian di ruang tamu."

"Adrian!" pekikku mencubit pinggangnya yang hanya dia balas dengan tawa.

Memalingkan pandangan dengan kesal, aku memilih untuk menatap ke sekeliling rumah. Aku mendapati diriku terkejut menyadari rumah ini masih terlihat sama. Padahal aku sudah meninggalkan rumah ini kosong selama hampir setahun lamanya.

Aku melangkah, mendekati perabotan perabotan yang terletak di ruang makan. Furnitur dan perabotan yang ada masih tersusun rapi seperti dulu. Cat tembok pucat berwana putih gading juga masih menghiasi sekeliling rumah ini.

"Kaila?" Adrian memanggil namaku menyadarkanku dari lamunan.

Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum lembut padaku. Lalu seolah jutaan perasaan berkelebat menyerang jiwaku, tubuhku gemetar merasakan kehangatan yang ganjil. Entah bagaimana semua yang ada di rumah ini mulai terasa familier. Rumah yang aku anggap asing kini bisa lagi aku kenali.

Aku sadar keberadaan Adrian lah yang membuatku merasakan kehangatan ini. Kehangatan sebuah rumah. Adrian adalah rumahku.

Dia adalah tempatku untuk pulang.

"Kaila." Adrian kembali memanggil namaku. Kini dia berjalan mendekatiku dan kembali menggenggam tanganku. "Ayo kita ke taman belakang," katanya lalu menggiringku melangkah menuju halaman belakang rumah.

Di taman belakang aku bisa melihat indahnya matahari sore di balik pohon-pohon rindang. Banyak bunga-bunga hias dan pohon yang juga di tanam di sini yang menambah keindahan yang ada.

"Ini tempat favoritmu menikmati waktu bersamaku, bukan?"

"Ya," kataku tapi aku tak sanggup menatap Adrian yang berdiri di sampingku.

Menyadari kenyataan bahwa Adrian adalah alasanku kembali merasakan kehangatan membuat jantungku berdegup abnormal. Rasanya begitu menyakitkan ketika aku harus menahan keputusasaan dalam jiwaku ini.

Keputusasaan bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya.

"Kamu selalu malas saat aku menyuruhmu merapikan halaman belakang. Kamu akan membuat banyak alasan untuk tidak membantuku menyiram bunga atau memotong rumput liar," kataku mulai mengoceh.

"Kamu berjanji padaku akan membelikanku bibit bunga amarilis dan bunga mawar untuk kita tanam di sini. Tapi kamu tidak pernah menepati janjimu padaku, Adrian."

Tubuhku mulai merasa dingin. Rasa familier itu berangsur-angsur hilang digantikan oleh rasa keputusasaan yang akut dan tak tertahankan. Mataku mulai terasa panas dan aku masih berusaha menahan tangis jatuh di pelupuk mataku berulang-kali.

"Apa kamu juga ingat? ... kamu pernah berjanji padaku untuk menjaga diri baik-baik. Tapi kenyataannya kamu tidak bisa menepati janjimu itu."

Namun aku tidak sanggup lagi. Air mataku pun tumpah ruah tanpa bisa aku tahan ketika aku menoleh ke samping.

Di sana sudah tidak ada seorang pun yang berdiri di sampingku. Kesadaran bahwa keberadaan pria yang sangat kucintai itu tak pernah ada bersamaku.  Benar-benar memukul hatiku hingga sakitnya tak bisa kugambarkan.

"Mengapa kamu meninggalkanku Adrian?"

"Mengapa kamu meninggalkan dunia ini?"

"Mengapa kamu harus mati?!"

Lirihku mendapati bayangan pria itu telah lenyap bersama matahari sore hari.

Dan sekali lagi.

Rumah ini ... kembali terasa asing.

 

Tamat.

 

 

Read more ...

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm