AYAH
Karya: Chanisa
Ilustrasi: lpmsinar2021
Ayah pernah bilang, kalau aku
merasa sakit, aku harus diam. Jangan menangis, jangan bicara, jangan merasa
sedih. Dia bilang seorang laki-laki yang memperlihatkan kelemahannya hanya akan
dianggap laki-laki tidak becus. Ayah paling benci melihat orang yang menangis.
Mungkin sebenci dia melihat foto pernikahannya dengan Ibu.
Aku
paham apa kata Ayah dan itu lah yang malah membuatku marah. Karena dia lah
laki-laki yang membuat Ibuku selalu menangis. Lucu memang. Dia selalu bicara
tentang menjadi laki-laki sejati atau orang yang bijaksana dalam mengambil
keputusan. Tapi yang ada, di mataku dia tidak lebih hanyalah seorang otoriter
yang terlalu mengagung-agungkan maskulinitas.
Persetan.
Dia bahkan tidak sanggup mengurus
rumah tangganya sendiri.
Apa
yang perlu aku banggakan dari Ayah? Tidak ada. Oh mungkin, caranya memukul Ibu
seperti game boxing apocalypce di PS4 atau cara dia berteriak dan
menggeram marah padaku ketika aku sengaja pulang malam. Itulah yang bisa aku
banggakan darinya.
"Ryan, ayahmu itu biadab!"
omel ibuku di depanku dengan wajah memarah dan air mata jatuh pipinya.
Dia
mengangis lagi. Seperti sebuah hal yang telah menjadi biasa. Dia akan
melampiaskan kekesalannya padaku. Seolah aku adalah Ayah, Ibu akan bicara
dengan nada tingginya. Memekik seperti burung pekik yang tercekik dan menatapku
dengan tatapan jijik.
Ibu.
Ya itu lah Ibuku.
Dia
cantik. Tentu saja. Tapi itu dulu ketika senyum di bibirnya masih sama seperti
di foto pernikahan yang dipajang di ruang keluarga rumah ini. Foto dengan
nuansa putih, kehangatan dan cinta serta dibumbui efek taburan bunga mawar di atas kepala
mereka. Mereka saling tersenyum bahagia dengan pose saling berhadapan di atas
pelaminan.
Sekarang
Ibu hanyalah ibu-ibu biasa yang bahkan tak bisa aku definisikan.dia tidak lagi
mengurus dia. Dia bahkan tidak lagi repot-repot mengurus urusan rumah. Kadang
dia seperti seorang ibu. Kadang aku merasa dia orang lain. Ibu punya temperamen
yang labil dan semua itu terjadi karena Ayah.
"Ibu benci Ayahmu! Ayahmu
itu bajingan!" kini tangisan Ibu semakin renyah di telingaku. Kurasa dia
tidak akan berhenti menangis untuk waktu yang lama.
Memang.
Tragedi yang yang terjadi saat ini adalah karena Ayah. Ibu menjadi gila dan
kian hari kegilaannya semakin menjadi. Aku paham yang dirasa Ibu. Ayah memang
bajingan. Dia jarang sekali pulang ke rumah sejak setahun yang lalu. Hanya
sebulan sekali dia akan pulang. Alasannya adalah pekerjaan, karena dia adalah
seorang distributor barang impor dan alasan-alasan pekerjaan yang tidak ingin aku
dengar.
Karena semua yang dia katakan
adalah kebohongan.
Selain bajingan ulung, hal lain
yang patut aku banggakan dari Ayah adalah skill-nya dalam berbohong.
Dia
berselingkuh. Dan bahkan selingkuhannya itu dia nikahi secara siri. Ibu maupun
aku tidak ada yang tau tentang kebejatannya itu. Sampai akhirnya Ibu yang mulai
merasa aneh dengan kelakuan Ayah segaja datang ke kampung halaman Ayah.
Dan BOOM!!!
Seperti
sebuah ledakan yang luar biasa tepat di gendang telinga. Semuanya pun jadi
kacau dan berantakan dengan efek yang sangat mengejutkan. Saat itu akhirnya aku
benar-benar sadar. Duniaku sudah hancur lebur. Tidak ada yang tersisa. Tidak
ada lagi yang namanya harapan. Begitu juga dengan Ibu. Semuanya sudah lenyap.
Keluarga sudah menjadi kata lain dari neraka. Dan definisi yang aku ciptakan
itu telah terukir nyata dalam benakku. Pertengaran Ayah dan Ibu bukan lagi
seperti game. Tapi telah menjadi
pertengkaran yang benar-benar ada. Karena berbeda dengan pertengkaran
sebelumnya. Pertengkaran yang terjadi kali ini telah memiliki akhir.
Ya.
Selamat. Ayah dan ibu akhirnya
bercerai.
Jujur
saja. Aku senang atas keputusan itu. Karena aku tidak akan lagi mendengar
mereka saling berdebat atau dengan egoisnya saling menyalahkan. Dan juga aku
tidak perlu membuat alasan-alasan untuk tidak perlu pulang ke rumah setelah
pulang sekolah. Tapi kenyataan ini sebenarnya sedikit menyakitkan. Ya, sedikit.
Karena aku tidak menyangka bahwa aku semakin membenci Ayah.
Setelah
memutuskan bercerai dengan Ibu. Ayah meninggalkanku seperti bayangan yang
hilang entah ke mana. Dia tidak pernah sekalipun mencoba menghubungiku. Dia
bahkan tidak bicara padaku. Aku tidak mengerti kenapa kali ini dia diam.
Padahal selama dia menjadi bagian 'keluarga' dia selalu memarahiku dan mulai
menceramahiku tentang menjadi seorang pemimpin yang disiplin hampir setiap
hari. Dia tidak akan berhenti marah sampai mulutnya kering.
Sungguh. Ini berbeda. Awalnya aku
sangat senang dia pergi dan aku tidak perlu repot-repot mendengar suaranya.
Tapi aku aku tidak bisa menyangkal. Perasaan kehilangan itu ada.
Ini benar-benar tidak terduga.
Aku tidak menyangka bahwa aku
merindukan omelannya.
Bahkan aku mulai bermimpi betapa
indahnya aku dihantam dengan tinjunya.
Mungkin
karena hanya kenangan itu yang aku miliki ketika aku punya 'ayah'. Tapi tetap
saja aku kesal. Dia mengabaikanku. Dia menganggap aku tidak ada. Mungkin
seperti ia menganggap Ibu adalah hama yang harus dibuang. Oh tidak, sejak awal
mungkin dia menganggap kami berdua adalah hama.
"Ayah itu memang
bangsat," ucapku mencoba mengelus pundak Ibu. Mencoba menenangkannya
seolah aku menyapu semua beban di sana dengan perkataan manisku itu.
Ya.
Ayah memang bangsat. Dia itu bajingan. Aku benci ketika setelah hampir lima
bulan perceraian, dia mengirimiku uang melalui pamanku. Apa-apaan dia?!
Bertidak seolah dia seorang Ayah sekarang, huh?! Seolah dia baru ingat kalau
dia punya seorang putra. Dia kira dengan uang-uang itu aku akan memaafkan
kelakuan bangsatnya itu?!
Tidak!
Tentu saja tidak.
Uang-uang
itu malah membuatku marah dan tertekan. Aku tidak butuh uang. Aku tidak butuh
apapun darinya. Aku juga tidak mengharapkan pemberian apapun dari bajingan yang
memanggil dirinya ayah. Aku tidak mau! Yang sangat aku inginkan hanyalah dia
menderita! Seperti aku dan seperti ibuku!
Dengan amarah yang meluap-luap.
Aku mengambil ponselku dan mengetik pesan singkat di sana untuk Ayah.
"Kenapa Ayah ga mati aja?! Berenti ganggu hidup aku sama
Ibu!"
Lalu aku kirim pesan itu.
Ayah ternyata langsung membalas
dan aku membacanya masih dengan kekesalan yang naik keubun-ubun.
"Baik. Kalo itu yang kamu mau. Ayah ga bakal ganggu kamu sama ibu
kamu. Ayah bakal berenti. Tapi Ayah
titip Ibu kamu. Jangan bikin dia nangis meski dia ngomelin kamu. Kamu juga jaga
diri kamu baik-baik. Jangan nakal. Jangan terlalu suka keluyuran dan tolong
jangan bergaul sama orang yang salah. Sama jangan lupa, beresin kamar kamu."
Pesan
singkat itu tidak aku balas sampai
seminggu kemudian. Aku tidak tau harus membalas makian seperti apa. Aku tidak
tau juga mengapa mataku panas dan berair dan jantungku berdegup dengan
kecepatan abnormal ketika membaca pesannya itu. Aku tidak nyaman dan aku tidak
suka perasaan menyebalkan ini.
Tapi, semuanya berakhir dengan
sangat epik ketika setelah dua minggu aku mendapat kabar jika Ayah meninggal
akibat gagal jantung.
Dia meninggal.
Dia pergi.
Karena ... Aku.
Aku
tidak berhenti berpikir bahwa akulah yang membunuh ayah. Aku lah penyebab
sebenarnya dia meninggal karena amarah sesaatku. Aku memintanya untuk mati dan
dengan bodohnya dia benar-benar mati. Aku merasa Tuhan sungguh kejam. Dia
memberiku Ayah yang menyebalkan tapi Dia membuatku sangat merasa kehilangan
ketika Ayah pergi dari dunia. Tapi apalah aku. Aku bahkan tidak pantas memarahi
Tuhan. Tidak ada yang berubah. Penyesalanku tetap sama. Andai aku tidak
mengirimnya pesan singkat itu, apakah Ayah akan tetap hidup? Apakah dia tetap
sehat? Tidak sakit?
Kali
ini setelah mencoba mati-matian menahan diri, akhirnya aku menangis memandang
Ibuku yang hingga kini tangisnya belum reda. Ia masih memaki Nisan Ayah dengan
kata-katanya. Aku tau meski dia memaki, jauh di dalam hati Ibu dia masih
menyayangi mantan suaminya itu. Pernikahan yang hampir 20 tahun tentu
kenangannya tidak dapat serta merta lenyap. Sama sepertiku, sebenci dan
kecewanya aku pada Ayah, aku masih menyanginya dan menganggapnya Ayah. Mungkin
penyesalan ini tidak akan hilang. Mungkin aku tidak akan berhenti membenci
diriku sendiri.
Aku tidak tau lagi.
Aku juga ingin mati.
End.