Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Selasa, 29 Juni 2021

Bijakkah Belajar Tatap Muka Dimulai Bulan Juli?

 


     Menjalankan pemerintahan di Indonesia sangatlah tidak mudah apalagi, ditambah pandemi Covid-19 yang sudah satu setengah tahun melanda tanah air dan dunia. Setiap kebijakan yang diambil haruslah melalui pertimbangan yang sangat matang. Serta seminimal mungkin tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Membuat suatu kebijakan di era pandemi seperti sekarang haruslah mempertimbangkan banyak hal dan yang paling utama adalah kesehatan dari masyarakat Indonesia. Sudah satu tahun lebih pemerintah melalui Menteri Pendidikan mengeluarkan larangan untuk melaksanakan kegiatan belajar secara tatap muka untuk menghindari penyebaran virus yang dapat membahayakan kesehatan warga sekolah. Kegiatan belajar mengajar sudah tidak lagi dilaksanakan di dalam kelas, tetapi dilaksanakan secara daring. Hal ini tentu sangat merugikan karena  sangat berpengaruh terhadap siswa itu sendiri, dimana mereka tidak lagi dapat berkumpul dengan teman-temannya dan bersosialisasi dengan guru seperti yang dahulu biasa dilakukan sebelum adanya pandemi ini. Keputusan dari pemerintah tentulah tidak bisa disalahkan karena  adanya pandemi ini tidak pernah direncanakan dan tentu saja sangat kurang persiapan untuk mengatasi ini semua.

  Setelah satu tahun berjalan tanpa pembelajaran tatap muka, Menteri Pendidikan akhirnya mengumumkan kebijakan baru untuk kembali mengadakan pembelajaran tatap muka di bulan Juli ini. Kebijakan ini tentu mendapatkan tentangan dari banyak pihak, terlebih dari aktivis kesehatan yang menganggap kebijakan ini kurang tepat karena dianggap membahayakan keselamatan siswa dan guru. Apalagi melihat kondisi sekarang ini ketika gelombang serangan Covid-19 varian kembali meninggi setelah libur lebaran. Namun, nampaknya pemerintah akan tetap melaksanakan kebijakan tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan di setiap sekolah.

    Apa yang dilakukan oleh Bapak Nadiem sebenarnya cukup tepat melihat kondisi pendidikan saat ini. Saya sebagai salah satu mahasiswa yang mengalami kebijakan ini merasa bahwasannya pembelajaran daring kurang efektif dalam proses pembelajaran, ada banyak hal yang dapat mengganggu proses pembelajaran daring mulai dari jaringan, ketersediaan kuota, dan fasilitas yang masih kurang untuk beberapa tempat. Tentunya hal ini akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar dari siswa dan bisa saja satu generasi akan bodoh jika proses pembelajarannya masih saja seperti ini. Hal ini tentu menjadi salah satu pertimbangan dari Menteri Pendidikan karena Beliau tidak mau jika pendidikan di eranya mengalami kemunduran.

    Bagaimana seharusnya kebijakan ini dijalankan? Seperti telah saya tulis di awal bahwasannya setiap kebijakan haruslah mempertimbangkan banyak hal. Oleh karena itu, Bapak Menteri hanya akan menerapkan kebijakan ini apabila keadaan memang memungkinkan. Sekolah yang diwajibkan melaksanakan kebijakan ini hanyalah sekolah di daerah dengan zona hijau dan kuning saja. Kapasitas dari setiap kelas pun dikurangi menjadi lima puluh persen saja dari keseluruhan kapasitas ruang kelas. Dalam seminggu sekolah hanya diwajibkan untuk menggelar pembelajaran tatap muka dalam 2-3 hari saja dan tetap menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Vaksinasi para pengajar telah mulai dilaksanakan untuk melindungi mereka dari penyebaran virus Covid-19.

    Lalu, apakah kebijakan ini akan efektif? Hal ini tentu dikembalikan lagi kepada penerapannya nanti di sekolah, semua tergantung dari pelaksana kebijakan. Hal ini harus didukung oleh semua pihak termasuk masyarakat. Kita tidak bisa selamanya menunggu pandemi, kesehatan dan pendidikan harus berjalan beriringan untuk menjaga asa generasi bangsa di masa pandemi seperti ini. Semoga pandemi segera berlalu. 

 Mohammad Ali (LPM Sinar, 29 Juni 2021)

Read more ...

Sabtu, 12 Juni 2021

Ayah

 AYAH

Karya: Chanisa

       Ilustrasi: lpmsinar2021

            Ayah pernah bilang, kalau aku merasa sakit, aku harus diam. Jangan menangis, jangan bicara, jangan merasa sedih. Dia bilang seorang laki-laki yang memperlihatkan kelemahannya hanya akan dianggap laki-laki tidak becus. Ayah paling benci melihat orang yang menangis. Mungkin sebenci dia melihat foto pernikahannya dengan Ibu.

            Aku paham apa kata Ayah dan itu lah yang malah membuatku marah. Karena dia lah laki-laki yang membuat Ibuku selalu menangis. Lucu memang. Dia selalu bicara tentang menjadi laki-laki sejati atau orang yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Tapi yang ada, di mataku dia tidak lebih hanyalah seorang otoriter yang terlalu mengagung-agungkan maskulinitas.

Persetan.

Dia bahkan tidak sanggup mengurus rumah tangganya sendiri.

            Apa yang perlu aku banggakan dari Ayah? Tidak ada. Oh mungkin, caranya memukul Ibu seperti game boxing apocalypce di PS4 atau cara dia berteriak dan menggeram marah padaku ketika aku sengaja pulang malam. Itulah yang bisa aku banggakan darinya.

"Ryan, ayahmu itu biadab!" omel ibuku di depanku dengan wajah memarah dan air mata jatuh pipinya.

            Dia mengangis lagi. Seperti sebuah hal yang telah menjadi biasa. Dia akan melampiaskan kekesalannya padaku. Seolah aku adalah Ayah, Ibu akan bicara dengan nada tingginya. Memekik seperti burung pekik yang tercekik dan menatapku dengan tatapan jijik.

Ibu.

Ya itu lah Ibuku.

            Dia cantik. Tentu saja. Tapi itu dulu ketika senyum di bibirnya masih sama seperti di foto pernikahan yang dipajang di ruang keluarga rumah ini. Foto dengan nuansa putih, kehangatan dan cinta serta dibumbui  efek taburan bunga mawar di atas kepala mereka. Mereka saling tersenyum bahagia dengan pose saling berhadapan di atas pelaminan.

            Sekarang Ibu hanyalah ibu-ibu biasa yang bahkan tak bisa aku definisikan.dia tidak lagi mengurus dia. Dia bahkan tidak lagi repot-repot mengurus urusan rumah. Kadang dia seperti seorang ibu. Kadang aku merasa dia orang lain. Ibu punya temperamen yang labil dan semua itu terjadi karena Ayah.

"Ibu benci Ayahmu! Ayahmu itu bajingan!" kini tangisan Ibu semakin renyah di telingaku. Kurasa dia tidak akan berhenti menangis untuk waktu yang lama.

            Memang. Tragedi yang yang terjadi saat ini adalah karena Ayah. Ibu menjadi gila dan kian hari kegilaannya semakin menjadi. Aku paham yang dirasa Ibu. Ayah memang bajingan. Dia jarang sekali pulang ke rumah sejak setahun yang lalu. Hanya sebulan sekali dia akan pulang. Alasannya adalah pekerjaan, karena dia adalah seorang distributor barang impor dan alasan-alasan pekerjaan yang tidak ingin aku dengar.

Karena semua yang dia katakan adalah kebohongan.

Selain bajingan ulung, hal lain yang patut aku banggakan dari Ayah adalah skill-nya dalam berbohong.

            Dia berselingkuh. Dan bahkan selingkuhannya itu dia nikahi secara siri. Ibu maupun aku tidak ada yang tau tentang kebejatannya itu. Sampai akhirnya Ibu yang mulai merasa aneh dengan kelakuan Ayah segaja datang ke kampung halaman Ayah.

Dan BOOM!!!

            Seperti sebuah ledakan yang luar biasa tepat di gendang telinga. Semuanya pun jadi kacau dan berantakan dengan efek yang sangat mengejutkan. Saat itu akhirnya aku benar-benar sadar. Duniaku sudah hancur lebur. Tidak ada yang tersisa. Tidak ada lagi yang namanya harapan. Begitu juga dengan Ibu. Semuanya sudah lenyap. Keluarga sudah menjadi kata lain dari neraka. Dan definisi yang aku ciptakan itu telah terukir nyata dalam benakku. Pertengaran Ayah dan Ibu bukan lagi seperti game. Tapi telah menjadi  pertengkaran yang benar-benar ada. Karena berbeda dengan pertengkaran sebelumnya. Pertengkaran yang terjadi kali ini telah memiliki akhir.

Ya.

Selamat. Ayah dan ibu akhirnya bercerai.

            Jujur saja. Aku senang atas keputusan itu. Karena aku tidak akan lagi mendengar mereka saling berdebat atau dengan egoisnya saling menyalahkan. Dan juga aku tidak perlu membuat alasan-alasan untuk tidak perlu pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Tapi kenyataan ini sebenarnya sedikit menyakitkan. Ya, sedikit. Karena aku tidak menyangka bahwa aku semakin membenci Ayah.

            Setelah memutuskan bercerai dengan Ibu. Ayah meninggalkanku seperti bayangan yang hilang entah ke mana. Dia tidak pernah sekalipun mencoba menghubungiku. Dia bahkan tidak bicara padaku. Aku tidak mengerti kenapa kali ini dia diam. Padahal selama dia menjadi bagian 'keluarga' dia selalu memarahiku dan mulai menceramahiku tentang menjadi seorang pemimpin yang disiplin hampir setiap hari. Dia tidak akan berhenti marah sampai mulutnya kering.

Sungguh. Ini berbeda. Awalnya aku sangat senang dia pergi dan aku tidak perlu repot-repot mendengar suaranya. Tapi aku aku tidak bisa menyangkal. Perasaan kehilangan itu ada.

Ini benar-benar tidak terduga.

Aku tidak menyangka bahwa aku merindukan omelannya.

Bahkan aku mulai bermimpi betapa indahnya aku dihantam dengan tinjunya.

            Mungkin karena hanya kenangan itu yang aku miliki ketika aku punya 'ayah'. Tapi tetap saja aku kesal. Dia mengabaikanku. Dia menganggap aku tidak ada. Mungkin seperti ia menganggap Ibu adalah hama yang harus dibuang. Oh tidak, sejak awal mungkin dia menganggap kami berdua adalah hama.

"Ayah itu memang bangsat," ucapku mencoba mengelus pundak Ibu. Mencoba menenangkannya seolah aku menyapu semua beban di sana dengan perkataan manisku itu.

            Ya. Ayah memang bangsat. Dia itu bajingan. Aku benci ketika setelah hampir lima bulan perceraian, dia mengirimiku uang melalui pamanku. Apa-apaan dia?! Bertidak seolah dia seorang Ayah sekarang, huh?! Seolah dia baru ingat kalau dia punya seorang putra. Dia kira dengan uang-uang itu aku akan memaafkan kelakuan bangsatnya itu?!

Tidak!

Tentu saja tidak.

            Uang-uang itu malah membuatku marah dan tertekan. Aku tidak butuh uang. Aku tidak butuh apapun darinya. Aku juga tidak mengharapkan pemberian apapun dari bajingan yang memanggil dirinya ayah. Aku tidak mau! Yang sangat aku inginkan hanyalah dia menderita! Seperti aku dan seperti ibuku!

Dengan amarah yang meluap-luap. Aku mengambil ponselku dan mengetik pesan singkat di sana untuk Ayah.

"Kenapa Ayah ga mati aja?! Berenti ganggu hidup aku sama Ibu!"

Lalu aku kirim pesan itu.

Ayah ternyata langsung membalas dan aku membacanya masih dengan kekesalan yang naik keubun-ubun.

"Baik. Kalo itu yang kamu mau. Ayah ga bakal ganggu kamu sama ibu kamu.  Ayah bakal berenti. Tapi Ayah titip Ibu kamu. Jangan bikin dia nangis meski dia ngomelin kamu. Kamu juga jaga diri kamu baik-baik. Jangan nakal. Jangan terlalu suka keluyuran dan tolong jangan bergaul sama orang yang salah. Sama jangan lupa, beresin kamar kamu."

            Pesan singkat  itu tidak aku balas sampai seminggu kemudian. Aku tidak tau harus membalas makian seperti apa. Aku tidak tau juga mengapa mataku panas dan berair dan jantungku berdegup dengan kecepatan abnormal ketika membaca pesannya itu. Aku tidak nyaman dan aku tidak suka perasaan menyebalkan ini.

Tapi, semuanya berakhir dengan sangat epik ketika setelah dua minggu aku mendapat kabar jika Ayah meninggal akibat gagal jantung.

Dia meninggal.

Dia pergi.

Karena ... Aku.

            Aku tidak berhenti berpikir bahwa akulah yang membunuh ayah. Aku lah penyebab sebenarnya dia meninggal karena amarah sesaatku. Aku memintanya untuk mati dan dengan bodohnya dia benar-benar mati. Aku merasa Tuhan sungguh kejam. Dia memberiku Ayah yang menyebalkan tapi Dia membuatku sangat merasa kehilangan ketika Ayah pergi dari dunia. Tapi apalah aku. Aku bahkan tidak pantas memarahi Tuhan. Tidak ada yang berubah. Penyesalanku tetap sama. Andai aku tidak mengirimnya pesan singkat itu, apakah Ayah akan tetap hidup? Apakah dia tetap sehat? Tidak sakit?

            Kali ini setelah mencoba mati-matian menahan diri, akhirnya aku menangis memandang Ibuku yang hingga kini tangisnya belum reda. Ia masih memaki Nisan Ayah dengan kata-katanya. Aku tau meski dia memaki, jauh di dalam hati Ibu dia masih menyayangi mantan suaminya itu. Pernikahan yang hampir 20 tahun tentu kenangannya tidak dapat serta merta lenyap. Sama sepertiku, sebenci dan kecewanya aku pada Ayah, aku masih menyanginya dan menganggapnya Ayah. Mungkin penyesalan ini tidak akan hilang. Mungkin aku tidak akan berhenti membenci diriku sendiri.

Aku tidak tau lagi. 

Aku juga ingin mati.

End.

Read more ...

Selasa, 01 Juni 2021

76 Tahun Pancasila, Sudah Hafalkah Kalian?

 

Seperti yang kita ketahui bahwa Pancasila lahir sebelum kemerdekaan diperoleh Negara Indonesia. Tepatnya 1 juni 1945 pada sidang Dokuritsu Junbi Cosakai yang dalam bahasa Indonesia diartikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang akrab kita sebut dengan BPUPKI. Jadi bisa dikatakan hingga saat ini Pancasila sudah berumur 76 tahun. Tetapi, meskipun begitu banyak yang masih tidak hafal Pancasila, atau kerap salah dalam pengucapannya, apalagi dalam mengamalkannya? Bisa dibayangkan sendiri seperti apa.

Jika ditanya seberapa penting kita menghafal Pancasila, jawabannya adalah sangat penting, dan harus dilakukann. Pada hakikatnya Pancasila itu bukan dihafalkan melainkan diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila adalah ideologi bangsa dan negara, "ideologi" dalam Kamus Bahasa Indonesia merupakan kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Pancasila sebagai ideologi artinya Pancasila dijadikan pedoman oleh masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam kelima asas Pancasila menjadi landasan masyarakat dalam bersosialisasi, kehidupan beragama, hak asasi manusia, dan bekerja sama. Oleh sebab itu penting sekali untuk kita menghayati nilai-nilai pada setiap sila dalam Pancasila.

Berbicara mengenai hafal Pancasila, banyak peristiwa yang menjadi sorotan warganet ketika seorang publik figur tidak hafal Pancasila atau terdapat kesalahan dalam pengucapannya. Hal tersebut selalu menuai beragam komentar yang mayoritasnya bukan komentar yang sedap untuk dibaca. Seperti yang terjadi pada salah satu anggota dewan di Paser, Kalimantan Timur ketika melafalkan sila Pancasila terdapat kesalahan pengucapan di depan mahasiswa-mahasiswa yang sedang menyuarakan suara. Hal tersebut sontak mendapat sorakan dari mahasiswa bahkan ada juga  yang sampai menertawakannya. Peristiwa yang serupa juga terjadi oleh anggota DPRD Kotawaringin Barat, dimana ketika melafalkan Pancasila mengalami kesulitan saat sampai pada sila keempat. Kesalahan yang dilakukannya sontak membuat riuh para mahasiswa yang berdemo memadati halaman gedung DPRD Kobar. Peristiwa-peristiwa serupa sering kerap terjadi dan dilakukan pula oleh para dewan. Entah dikarenakan rasa nervous atau gugup ketika ditonton banyak orang, atau memang karena belum hafal sempurna disetiap sila dalam Pancasila.

Pada pertengahan tahun 2020 juga ramai menjadi perbincangan saat seorang finalis ajang Miss Indonesia perwakilan dari Sumatera Barat, Kalista Iskandar mengalami kesalahan dalam pengucapan sila Pancasila. Ketika mendapat pertanyaan dari  Bambang Soesatyo seseorang yang menjadi Ketua MPR mengenai lima  sila yang terkandung dalam Pancasila, Kalista tampak kebingungan dan kesulitan dalam menjawab. Khususnya sila keempat dan kelima yang terkandung dalam Pancasila. Para penonton yang hadir tampak riuh begitu Kalista Iskandar terlihat kurang mampu mengendalikan diri dalam menjawab hingga lupa sila dalam Pancasila. Tak sedikit warganet yang mengkritisi bahkan membanjiri komentar pada akun media sosial Kalista. Meskipun begitu beberapa influence memberikan dukungan dan membela Kalista, karena begitu banyak warganet yang merundungnya.

Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dibahas sebelumnya seharusnya menjadikan pengingat untuk diri kita pribadi, apakah sudah sempurna kita dalam menghafalkan Pancasila? Apakah kita sudah menghayati dan memahami arti dalam setiap silanya? Dan apakah kita sudah menerapkan dalam kehidupan sehari-hari? Hal tersebut perlu kita tanyakan pada diri kita secara dalam.

Disaat kita masih berada di bangku sekolah baik SD, SMP, hingga SMA setiap hari senin pasti kita melaksanakan upacara bendera. Dimana sesuai  tata urutan upacara bendera (Pasal 19 UU No. 9 Tahun 2010) setelah mengibarkan bendera merah putih dan mengheningkan cipta, pembina upacara membacakan naskah Pancasila dan diikuti oleh seluruh peserta upacara. Hal tersebut bertujuan agar seluruh peserta  yang mengikuti upacara dapat selalu mengingat dan mengamalkan arti Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Karena dengan pembacaan naskah Pancasila dimaksudkan  selalu mengingatkan Bangsa Indonesia khususnya peserta didik tentang peraturan dasar-dasar negara indonesia yang semuanya telah tercantum dalam ke lima sila tersebut. Dengan begitu peserta didik lebih mudah mengingat setiap sila karena setiap hari senin selalu mendengar dan melafalkannya.

Terdapat sebuah penelitian Forrin dan McLeod dari Departemen Psikologi, Universitas Waterloo, ON, Kanada yang membandingkan efektivitas mengingat dari empat kelompok subjek penelitian yaitu pada kelompok pertama, merupakan sekumpulan orang yang membaca dalam hati. Pada kelompok kedua merupakan sekumpulan orang yang mendengarkan orang lain membacakan. Pada kelompok ketiga merupakan sekumpulan orang yang mendengarkan rekaman bacaan sendiri. Lalu pada kelompok keempat merupakan sekumpulan orang yang membaca sendiri dengan suara keras.

Ketika diteliti dengan jangka waktu dua minggu setelah penelitian pertama, dari keempat kelompok yang menunjukkan kemampuan mengingat dan kemampuan belajar paling tinggi adalah kelompok keempat. Subyek yang membaca sendiri dengan suara keras. Peneliti menyatakan bahwa kombinasi kerja mulut, pita suara, gendang telinga menghasilkan "tali" yang kuat untuk memasukkan infomasi ke dalam gudang memori. McLeod menyebutnya "words engagement" .

Hal tersebut sebenarnya memiliki kesamaan saat kita belajar mengaji, kebanyak dari kita membaca dengan keras setiap huruf hijaiyah. Dan sama halnya juga saat kita mendengarkan pembina upacara membaca naskah Pancasila kita mengikuti dan melafalkannya dengan keras. Maka terjadilah kombinasi kerja mulut, pita suara, gendang telinga seperti yang dijelaskan oleh Forrin dan McLeod dalam penelitiannya yang menghasilkan perantara yang kuat untuk memasukkan infomasi ke dalam memori.

Sejak adanya pandemi Covid 19 kegiatan sekolah beralih menjadi dalam jaringan, sehingga upacara benderapun tidak dapat diselenggarakan. Oleh sebab itu orang tua sangat berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada putra-putrinya.

 

 Twinkle (LPM Sinar, 1 Juni 2021)

 

Read more ...

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm