BLANDONG
Karya: Tri Utami
Kepulan asap rokok
linting memenuhi ruangan kecil yang dipenuhi ventilasi dengan dinding rumah
dari blabag (kulit kayu jati), dan
beralaskan tanah yang membuat sesak paru-paru, ditambah ketika musim kemarau
seakan memberi cambukan pada pernafasan dengan bantuan panasnya penguasa siang.
Kopi pahit setengah gelas tersaji dihadapan laki-laki berumur 35 tahun yang
kurus kering dan rambut sedikit gondrong dengan kebiasaannya bertelanjang dada,
semakin memperlihatkan tulang rusuk yang bisa dihitung itu. Duduk dengan kaki
terangkat diatas balai bambu sederhana yang terlihat usang dimakan waktu, dan
tentu saja rayap, sambil sesekali matanya menerawang jauh ke atas mengikuti
asap rokok yang dihembuskannya.
“Tar, makan apa kita siang ini” Tanyanya
kepada istri yang terlihat jutek bebek dengan mulut seperti terkuncir 5cm.
“Ya
makan seadanya, sambal korek dan tempe bosok kemarin!” Jawab istrinya judes.
“Sambal
korek lagi? Dengan lombok kering yang kau jemur hampir 10 kali sehari? Lihatlah
perutku ini tar, kurus cembung kedalam, mungkin ususku ini sudah melilit
kapanasan.” Kata Pardi sambil mengelus perut ratanya.
“Biarlah melilit kepanasan! Kalau perlu
sampai putus pun aku tak peduli, kau sendiri
kerjaan diam saja dirumah mau minta makan enak, kau kira kita ini ambil
pesugihan yang setiap saat dapat uang tanpa harus bekerja!” Bentak Tarmi, istri
Pardi.
“Pesugihan? Ide bagus Tar, nanti kita
kaya, kau dapat membeli apapun sesuka hatimu dan aku bisa beli motor seperti di
film Anak Langit, ha ha ha ha.” Tawa pardi yang merasa lucu dengan ucapan
Tarmi.
“Hah! Terserah terserah, imajinasimu
terlalu tinggi dibarengi sifat malasmu yang melebihi orang gila.” Kata Tarmi
marah-marah.
“Tar, cobalah sehari saja kau tidak
marah, tidak mbrambyang (mengomel), pasti
aku betah dirumah.” Kata Pardi sambil merebahkan tubuhnya diatas balai bambu.
“Istri mana yang tidak marah melihat
suami kerjaannya hanya tidur, makan, merokok, tapi tetap saja memintah jatah!”
Bentak Tarmi sambil melotot kearah pardi.
“Ha ha ha tenang saja Tar, sebentar lagi
aku akan mendapatkan uang yang banyak untuk kau belanja dan membeli kalung
incaranmu kemarin.” Kata Pardi meyakinkan istrinya.
“Karepmu!
(Terserah kamu) berkhayallah semau otakmu dibalai bambu reyot dan gapuk
kesayanganmu itu.” Kata Tarmi berlalu sambil menghentakan kaki yang seakan
mampu merobohkan gubuk kecil mereka.
“Tar, Tar, cobalah panggil aku sayang sekali
saja, aku dulu menikahimu karena aku tresno
(Cinta) kamu.” Kata Pardi sambil melihat Tarmi.
Namun
perkataannya tak digubris Tarmi yang sudah jengah dengan gombalan ndesonya. Pardi
yang melihat kelakuan istrinya hanya tersenyum pahit, sepahit kopi yang sedang
ditenggaknya saat ini.
Pardi, laki-laki 35 tahun
yang dulu sempat merantau di Tanah Merah Cilegon, bekerja sebagai tukang bata
yang berpenghasilan lumayan dibanding dengan sekarang. Namun ternyata
keberuntungan disana tak selamanya berpihak pada Pardi, Bos batanya bangkrut
dan seluruh pekerjanya terpaksa diberhentikan.
Begitupun dengan Pardi, yang lalu pulang
ke kampung mengadu nasib dengan bekerja serabutan. Lagi-lagi Pardi tak memiliki
keberuntungan di kampung yang mayoritas petani sedangkan Pardi tak memiliki
keahlian di bidang itu, bukan hanya keahlian, sawah pun tak punya. Dari
beberapa alasan itu ditambah dengan dirinya yang setiap hari disuguhi wajah
cemberut yang terlihat asem Tarmi istrinya, mau tak mau mendorong Pardi untuk mencuri
kayu jati milik pemerintah, yang harga pasaran kayu jati sangat menguntungkan.
Tentu saja Pardi tak sendiri, tak akan mampu dia memikul kayu jati yang
beratnya mencapai 1 ton dengan panjang 5 meter. Maka dari itu, dia mempunyai
seorang teman untuk menemaninya menjadi seorang Blandong. Menjadi seorang
Blandong yang tidak hanya mengandalkan kekuatan namun juga keberanian.
Pagi ini, Pardi pergi
kerumah Tarmin yang rumahnya diseberang sepetak sawah depan rumahnya. Tarmin
adalah teman kecil dan tentu saja teman blandongnya. Kedatangan Pardi sudah
dapat ditebak oleh Tarmin yang sedang duduk didepan rumahnya dengan rokok sigaret
kretek merk abal-abal dan juga teh panas pahit, sebab gula harganya mahal bagi
keluarga kecil itu.
“Hoi, Min,”
Sapa Pardi dari kejauhan.
“Mendekatlah dulu baru kau menyapa.”
Protes Tarmin, dengan wajah masam.
“Ha ha ha, yo yo sepurane (maaf).” Ucap Pardi dengan tawa renyahnya.
“Ada apa datang kemari?” Tanya Tarmin
yang berusaha pura-pura tidak tahu maksud kedatangan Pardi
“Bojomu
(Istrimu) marah lagi kan?” Pardi dengan senyum tipis menebak keadaan rumah
tarmin pagi ini, sebab keadaannya tak jauh berbeda dengan di rumahnya.
“Hem, Ya begitulah perempuan maunya
pegang duit terus, belanja sesuka hati, tak peduli suaminya kurus kering bagai kucing
jalanan yang kelaparan.” Kata Tarmin agak pelan takut terdengar istri yang
sedang mbrambyang (mengomel) tak
karuan di belakang.
“Aku dengar! Tak usah
kau bisik-bisik. Cari duit yang banyak, baru kau dapat pulang!” Teriak istri
Tarmin dari jarak 10 meter. Pardi yang mendengar pertengkaran keluarga temannya
hanya tertawa kecil, tak mengejek sebab itu sama saja mengejek dirinya sendiri.
“Sudahlah, daripada terus berdebat
dengan ketua rumah lebih baik kita cari uang untuk membungkam mulut istri
kita.” Kata Pardi menengahi.
“Mau cari uang dimana? Ke Cilegon lagi?
Harga bata sedang merosot akhir-akhir ini daripada kita harus panas-panas bakar
bata tapi duitnya tak sesuai, malas aku.” Pungkas Tarmin dengan membuang muka
ke samping.
“Min Tarmin, aku mangkel (benci) dengan sifat malasmu itu, Ana catur mungkur (Tidak mau mendengarkan perkataan orang lain)
sebelum aku berbicara.” Ungkap Pardi setengah kesal. Lalu mengambil rokok
sigaret kretek yang hanya bersisa 1 batang.
“Jangan mudah tersinggung kau di, aku
hanya berbicara fakta, sawah musim ini juga tidak bisa digarap. Lalu mau cari
duit dimana kita?” Tanya Tarmin, dengan menghisap rokok nya.
“Jati alas lor sana
besar-besar juga cukup umur Min, dan kulihat dari kemarin tidak ada polisi
hutan yang berjaga, mungkin dipikir dekat dengan pedesaan makanya tak ada
penjagaan ketat.” Kata Pardi bersungguh-sunguh.
“Kau yakin? 5 hari yang lalu si Tejo
tertangkap sebab ketahuan mblandong jati disekitar alas lor dan sekarang sedang
ditahan di kantor polisi.” Jawab Tarmin yang sedikit was-was.
“Yakin, sudahlah percaya padaku. Semua
baik baik saja, Jati alas lor sana jika
dijual hasilnya mampu membeli gelang untuk istri dan anakmu.” Ucap Pardi
meyakinkan Tarmin yang sedikit bimbang.
“Baiklah jam 2 nanti kita berangkat,
lewat sawah mbah kinem saja, sawahnya sudah dibersihkan dan jauh lebih dekat.”
Saran Tarmin setelah berpikir sedikit lama.
“Iyo, semoga Dhemit ora ndulit Setan ora doyan (Lepas dari marabahaya).” Jawab
Pardi mantap.
Bersiap-siaplah mereka
berdua untuk rencana malam nanti. Pardi dan Tarmin sudah terbiasa mblandong
jati di daerah mereka, hanya alas yang dekat dengan kampung, sebab jika terlalu
jauh maka akan kesusahan mengangkut kayu yang masih mereka angkut dengan cara
dipikul depan dan belakang. Sudah beberapa kali pula Pardi dan Tarmin hampir
tertangkap oleh Polisi hutan yang sedang bertugas, namun entah mengapa
keberuntungan selalu menghampiri mereka berdua. Polisi hutan selalu saja
kehilangan jejak mereka yang lari dengan cepat walau digelapnya malam ditambah rimbun
pohon jati. Begitupun malam ini mereka berangkat dengan hati yang yakin dan
berani, berbekal kapak dan juga air minum di botol aqua besar yang diisi
sendiri, sebab istri mereka sudah terlelap sedari sore.
“Kresek kresek” Bunyi
daun jati kering yang diinjak oleh dua orang manusia, ditambah suara binatang
malam yang menjadi lagu penghilang takut. Bulan juga bersinar sangat terang malam ini, hingga cahayanya
menerobos ke dalam rimbunnya daun jati. Kapak mulai diayunkan ke pohon jati
yang dirasa cukup besar dan sudah berumur.
“Duk duk duk” Bunyi
yang dihasilkan memecah heningan malam dan membuat terbangun burung emprit yang
bersarang di pohon jati itu. Butuh tenaga untuk menumbangkan pohon tersebut,
maka mereka berganti-gantian mengayunkan kapak.
“Minumlah dulu kau di.” Ucap Tarmin yang
melihat pardi ngos-ngos an.
“Hah, akan dapat untung banyak kita min,
lihatlah kayu jati ini sangat bagus dan besar.” Kata Pardi berhenti mengayunkan
kapak, lalu duduk dan meraih botol minum “Cleguk.. cleguk...cleguk..” Bunyinya
“Benar di, uangnya
dapat kusumpalkan pada mulut Marni yang setiap hari marah-marah.” Kata Tarmin
sambil beranjak berdiri meraih kapak yang digeletakkan oleh Pardi. Tarmin mulai
mengayunkan kapak dengan tenaga penuh, berharap kayu jati dengan cepat bisa
rubuh. Disaat pohon jati sudah setengah terpotong,
“Krek...” Terdengar
seperti ranting yang terinjak oleh manusia, mereka diam sesaat dan saling
berpandangan, lalu melihat sekeliling.
“Lariii min, lariii pencar pencar !!!!!”
Teriak Pardi kepada Tarmin yang berlari kalang kabut dibelakangnya. Mereka tak
memperdulikan lagi kaki yang menginjak ranting kayu yang tajam, atau tersabet
ranting yang berduri. Mereka sudah tak merasakan sakit, yang ada dipikiran
mereka adalah bersembunyi dari kejaran polisi hutan.
“Door.. door” Suara
tembakan memembelah malam yang menunjukan pukul 3 dinihari.
“Berhenti....” Suara yang tak kalah nyaring
dan keras itu menyarankan Pardi dan Tarmin untuk menyerah.
“Bajingan, Keparat!!!!!” Umpat Tarmin
yang terus berlari dengan mata yang perih terbanjiri keringat. Sementara dua
orang polisi hutan terus mengejarnya dengan mengacungkan senjata api dan siap
untuk menembak
Namun“Duk
Braaakk....”Tarmin terjatuh tersandung akar pohon, dan naas terdapat tunggak lancip (Bonggol pohon Jati)
tepat diatas Tarmin dan menusuk perut kurusnya.
“Min, Tarminn!!!!” Teriak Pardi
memanggil Tarmin yang sudah hilang suaranya.
“Aaaaaarrghhhh” timah panas polisi hutan
itu menembus betis sebelah kiri Pardi yang langsung memuncratkan darah segar
dari laki-laki kurus itu. Pardi lantas
tersungkur terkapar menahan sakit.
Keesokan harinya rumah Tarmin ramai dikunjungi tetangga
dan sanak saudara dengan membawa beras dan kembang yang bertempat di baki kecil
yang diatasnya ditaruh uang logam. Terlihat seorang wanita dan anak perempuan
yang masih duduk di bangku SMP, dengan mata sembab menyalami tamu yang datang
untuk berbela sungkawa. Sedangkan Pardi harus mendekam di sel tahanan kantor
polisi dengan kaki kiri diperban dan muka serta tangan yang lebam penuh dengan
sabetan ranting pohon, pikirannya kalut dan sesekali menyeka air matanya ditinggal
sahabat kecilnya, ditambah dengan perkataan dari istrinya tadi pagi sambil
membawakan baju ganti dan juga sarapan, yang semakin menambah beban dan juga
rasa bersalah.
“Anakmu akan lahir saat kamu masih di
dalam penjara.”