Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Kamis, 08 April 2021

BLANDONG

BLANDONG

Karya: Tri Utami




Kepulan asap rokok linting memenuhi ruangan kecil yang dipenuhi ventilasi dengan dinding rumah dari blabag (kulit kayu jati), dan beralaskan tanah yang membuat sesak paru-paru, ditambah ketika musim kemarau seakan memberi cambukan pada pernafasan dengan bantuan panasnya penguasa siang. Kopi pahit setengah gelas tersaji dihadapan laki-laki berumur 35 tahun yang kurus kering dan rambut sedikit gondrong dengan kebiasaannya bertelanjang dada, semakin memperlihatkan tulang rusuk yang bisa dihitung itu. Duduk dengan kaki terangkat diatas balai bambu sederhana yang terlihat usang dimakan waktu, dan tentu saja rayap, sambil sesekali matanya menerawang jauh ke atas mengikuti asap rokok yang dihembuskannya.

 “Tar, makan apa kita siang ini” Tanyanya kepada istri yang terlihat jutek bebek dengan mulut seperti terkuncir 5cm.

 “Ya makan seadanya, sambal korek dan tempe bosok kemarin!” Jawab istrinya judes.

 “Sambal korek lagi? Dengan lombok kering yang kau jemur hampir 10 kali sehari? Lihatlah perutku ini tar, kurus cembung kedalam, mungkin ususku ini sudah melilit kapanasan.” Kata Pardi sambil mengelus perut ratanya.

“Biarlah melilit kepanasan! Kalau perlu sampai putus pun aku tak peduli, kau sendiri  kerjaan diam saja dirumah mau minta makan enak, kau kira kita ini ambil pesugihan yang setiap saat dapat uang tanpa harus bekerja!” Bentak Tarmi, istri Pardi.

“Pesugihan? Ide bagus Tar, nanti kita kaya, kau dapat membeli apapun sesuka hatimu dan aku bisa beli motor seperti di film Anak Langit, ha ha ha ha.” Tawa pardi yang merasa lucu dengan ucapan Tarmi.

“Hah! Terserah terserah, imajinasimu terlalu tinggi dibarengi sifat malasmu yang melebihi orang gila.” Kata Tarmi marah-marah.

“Tar, cobalah sehari saja kau tidak marah, tidak mbrambyang (mengomel), pasti aku betah dirumah.” Kata Pardi sambil merebahkan tubuhnya diatas balai bambu.

“Istri mana yang tidak marah melihat suami kerjaannya hanya tidur, makan, merokok, tapi tetap saja memintah jatah!” Bentak Tarmi sambil melotot kearah pardi.

“Ha ha ha tenang saja Tar, sebentar lagi aku akan mendapatkan uang yang banyak untuk kau belanja dan membeli kalung incaranmu kemarin.” Kata Pardi meyakinkan istrinya.

Karepmu! (Terserah kamu) berkhayallah semau otakmu dibalai bambu reyot dan gapuk kesayanganmu itu.” Kata Tarmi berlalu sambil menghentakan kaki yang seakan mampu merobohkan gubuk kecil mereka.

 “Tar, Tar, cobalah panggil aku sayang sekali saja, aku dulu menikahimu karena aku tresno (Cinta) kamu.” Kata Pardi sambil melihat Tarmi.

 Namun perkataannya tak digubris Tarmi yang sudah jengah dengan gombalan ndesonya. Pardi yang melihat kelakuan istrinya hanya tersenyum pahit, sepahit kopi yang sedang ditenggaknya saat ini. 

Pardi, laki-laki 35 tahun yang dulu sempat merantau di Tanah Merah Cilegon, bekerja sebagai tukang bata yang berpenghasilan lumayan dibanding dengan sekarang. Namun ternyata keberuntungan disana tak selamanya berpihak pada Pardi, Bos batanya bangkrut dan seluruh pekerjanya terpaksa diberhentikan.

Begitupun dengan Pardi, yang lalu pulang ke kampung mengadu nasib dengan bekerja serabutan. Lagi-lagi Pardi tak memiliki keberuntungan di kampung yang mayoritas petani sedangkan Pardi tak memiliki keahlian di bidang itu, bukan hanya keahlian, sawah pun tak punya. Dari beberapa alasan itu ditambah dengan dirinya yang setiap hari disuguhi wajah cemberut yang terlihat asem Tarmi istrinya, mau tak mau mendorong Pardi untuk mencuri kayu jati milik pemerintah, yang harga pasaran kayu jati sangat menguntungkan. Tentu saja Pardi tak sendiri, tak akan mampu dia memikul kayu jati yang beratnya mencapai 1 ton dengan panjang 5 meter. Maka dari itu, dia mempunyai seorang teman untuk menemaninya menjadi seorang Blandong. Menjadi seorang Blandong yang tidak hanya mengandalkan kekuatan namun juga keberanian.

Pagi ini, Pardi pergi kerumah Tarmin yang rumahnya diseberang sepetak sawah depan rumahnya. Tarmin adalah teman kecil dan tentu saja teman blandongnya. Kedatangan Pardi sudah dapat ditebak oleh Tarmin yang sedang duduk didepan rumahnya dengan rokok sigaret kretek merk abal-abal dan juga teh panas pahit, sebab gula harganya mahal bagi keluarga kecil itu.

“Hoi,   Min,” Sapa Pardi dari kejauhan.

“Mendekatlah dulu baru kau menyapa.” Protes Tarmin, dengan wajah masam.

“Ha ha ha, yo yo sepurane (maaf).” Ucap Pardi dengan tawa renyahnya.

“Ada apa datang kemari?” Tanya Tarmin yang berusaha pura-pura tidak tahu maksud kedatangan Pardi

Bojomu (Istrimu) marah lagi kan?” Pardi dengan senyum tipis menebak keadaan rumah tarmin pagi ini, sebab keadaannya tak jauh berbeda dengan di rumahnya.

“Hem, Ya begitulah perempuan maunya pegang duit terus, belanja sesuka hati,  tak peduli suaminya kurus kering bagai kucing jalanan yang kelaparan.” Kata Tarmin agak pelan takut terdengar istri yang sedang mbrambyang (mengomel) tak karuan di belakang.

“Aku dengar! Tak usah kau bisik-bisik. Cari duit yang banyak, baru kau dapat pulang!” Teriak istri Tarmin dari jarak 10 meter. Pardi yang mendengar pertengkaran keluarga temannya hanya tertawa kecil, tak mengejek sebab itu sama saja mengejek dirinya sendiri.

“Sudahlah, daripada terus berdebat dengan ketua rumah lebih baik kita cari uang untuk membungkam mulut istri kita.” Kata Pardi menengahi.

“Mau cari uang dimana? Ke Cilegon lagi? Harga bata sedang merosot akhir-akhir ini daripada kita harus panas-panas bakar bata tapi duitnya tak sesuai, malas aku.” Pungkas Tarmin dengan membuang muka ke samping.

“Min Tarmin, aku mangkel (benci) dengan sifat malasmu itu, Ana catur mungkur (Tidak mau mendengarkan perkataan orang lain) sebelum aku berbicara.” Ungkap Pardi setengah kesal. Lalu mengambil rokok sigaret kretek yang hanya bersisa 1 batang.

“Jangan mudah tersinggung kau di, aku hanya berbicara fakta, sawah musim ini juga tidak bisa digarap. Lalu mau cari duit dimana kita?” Tanya Tarmin, dengan menghisap rokok nya.

“Jati alas lor sana besar-besar juga cukup umur Min, dan kulihat dari kemarin tidak ada polisi hutan yang berjaga, mungkin dipikir dekat dengan pedesaan makanya tak ada penjagaan ketat.” Kata Pardi bersungguh-sunguh.

“Kau yakin? 5 hari yang lalu si Tejo tertangkap sebab ketahuan mblandong jati disekitar alas lor dan sekarang sedang ditahan di kantor polisi.” Jawab Tarmin yang sedikit was-was.

“Yakin, sudahlah percaya padaku. Semua baik baik saja, Jati  alas lor sana jika dijual hasilnya mampu membeli gelang untuk istri dan anakmu.” Ucap Pardi meyakinkan Tarmin yang sedikit bimbang.

“Baiklah jam 2 nanti kita berangkat, lewat sawah mbah kinem saja, sawahnya sudah dibersihkan dan jauh lebih dekat.” Saran Tarmin setelah berpikir sedikit lama.

“Iyo, semoga Dhemit ora ndulit Setan ora doyan (Lepas dari marabahaya).” Jawab Pardi mantap.

Bersiap-siaplah mereka berdua untuk rencana malam nanti. Pardi dan Tarmin sudah terbiasa mblandong jati di daerah mereka, hanya alas yang dekat dengan kampung, sebab jika terlalu jauh maka akan kesusahan mengangkut kayu yang masih mereka angkut dengan cara dipikul depan dan belakang. Sudah beberapa kali pula Pardi dan Tarmin hampir tertangkap oleh Polisi hutan yang sedang bertugas, namun entah mengapa keberuntungan selalu menghampiri mereka berdua. Polisi hutan selalu saja kehilangan jejak mereka yang lari dengan cepat walau digelapnya malam ditambah rimbun pohon jati. Begitupun malam ini mereka berangkat dengan hati yang yakin dan berani, berbekal kapak dan juga air minum di botol aqua besar yang diisi sendiri, sebab istri mereka sudah terlelap sedari sore.

“Kresek kresek” Bunyi daun jati kering yang diinjak oleh dua orang manusia, ditambah suara binatang malam yang menjadi lagu penghilang takut. Bulan juga bersinar  sangat terang malam ini, hingga cahayanya menerobos ke dalam rimbunnya daun jati. Kapak mulai diayunkan ke pohon jati yang dirasa cukup besar dan sudah berumur.

“Duk duk duk” Bunyi yang dihasilkan memecah heningan malam dan membuat terbangun burung emprit yang bersarang di pohon jati itu. Butuh tenaga untuk menumbangkan pohon tersebut, maka mereka berganti-gantian mengayunkan kapak.

“Minumlah dulu kau di.” Ucap Tarmin yang melihat pardi ngos-ngos an.

“Hah, akan dapat untung banyak kita min, lihatlah kayu jati ini sangat bagus dan besar.” Kata Pardi berhenti mengayunkan kapak, lalu duduk dan meraih botol minum “Cleguk.. cleguk...cleguk..” Bunyinya

“Benar di, uangnya dapat kusumpalkan pada mulut Marni yang setiap hari marah-marah.” Kata Tarmin sambil beranjak berdiri meraih kapak yang digeletakkan oleh Pardi. Tarmin mulai mengayunkan kapak dengan tenaga penuh, berharap kayu jati dengan cepat bisa rubuh. Disaat pohon jati sudah setengah terpotong,

“Krek...” Terdengar seperti ranting yang terinjak oleh manusia, mereka diam sesaat dan saling berpandangan, lalu melihat sekeliling.

“Lariii min, lariii pencar pencar !!!!!” Teriak Pardi kepada Tarmin yang berlari kalang kabut dibelakangnya. Mereka tak memperdulikan lagi kaki yang menginjak ranting kayu yang tajam, atau tersabet ranting yang berduri. Mereka sudah tak merasakan sakit, yang ada dipikiran mereka adalah bersembunyi dari kejaran polisi hutan.

“Door.. door” Suara tembakan memembelah malam yang menunjukan pukul 3 dinihari.

“Berhenti....” Suara yang tak kalah nyaring dan keras itu menyarankan Pardi dan Tarmin untuk menyerah.

“Bajingan, Keparat!!!!!” Umpat Tarmin yang terus berlari dengan mata yang perih terbanjiri keringat. Sementara dua orang polisi hutan terus mengejarnya dengan mengacungkan senjata api dan siap untuk menembak

Namun“Duk Braaakk....”Tarmin terjatuh tersandung akar pohon, dan naas terdapat tunggak lancip (Bonggol pohon Jati) tepat diatas Tarmin dan menusuk perut kurusnya.

“Min, Tarminn!!!!” Teriak Pardi memanggil Tarmin yang sudah hilang suaranya.

“Aaaaaarrghhhh” timah panas polisi hutan itu menembus betis sebelah kiri Pardi yang langsung memuncratkan darah segar dari laki-laki kurus itu. Pardi  lantas tersungkur terkapar menahan sakit.

Keesokan harinya rumah Tarmin ramai dikunjungi tetangga dan sanak saudara dengan membawa beras dan kembang yang bertempat di baki kecil yang diatasnya ditaruh uang logam. Terlihat seorang wanita dan anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP, dengan mata sembab menyalami tamu yang datang untuk berbela sungkawa. Sedangkan Pardi harus mendekam di sel tahanan kantor polisi dengan kaki kiri diperban dan muka serta tangan yang lebam penuh dengan sabetan ranting pohon, pikirannya kalut dan sesekali menyeka air matanya ditinggal sahabat kecilnya, ditambah dengan  perkataan dari istrinya tadi pagi sambil membawakan baju ganti dan juga sarapan, yang semakin menambah beban dan juga rasa bersalah.

“Anakmu akan lahir saat kamu masih di dalam penjara.”

1 komentar:

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm