Cerpen Aisyah (LPM Sinar, 13 Februari 2017)
Di penghujung hari, aku berdiri di depan jendela
kamarku yang sengaja kubuka sembari memandang bintang yang tidak pernah lelah
menghias malam. Saat ini pukul 11.35 pm, tetapi mataku belum juga terpejam.
Terlalu banyak masalah yang sedang memenuhi pikiranku. Ada saja masalah yang
terjadi dalam hidupku ini. Padahal, aku ingin sehari saja hidup tanpa masalah.
Namun, aku hanya manusia biasa yang memiliki sekadar keinginan. Aku hanya bisa
berdoa, dan Tuhan-lah yang menentukannya. Pukul 01.45 am, aku mulai menguap. Aku pun
memutuskan untuk tidur. Kututup jendela kamar terlebih dulu, lalu kurebahkan
badan di atas kasur. Selang beberapa menit, aku pun terbuai dalam mimpi.
Beberapa jam kemudian....
Aku terbangun karena handphone-ku berdering, menganggu tidurku.
Tampak nama di layar handphone yang berkedip, “Amel is calling....”
Jam masih menunjukkan pukul 03.00 am, ada
apa sahabatku menelepon
sepagi ini? Dia tidak mungkin telpon di pagi buta seperti ini, kalau tak ada
kepentingan mendesak. Aku memutuskan untuk mengangkatnya.
“Sil, ini benar-benar gawat!” Serunya di
seberang sana. Dari suaranya, aku tahu dia sedang menghadapi masalah besar.
“Kenapa... Kenapa?” Tanyaku panik.
“Sil... Sila...,” dia
tidak bisa berbicara dengan baik, karena napasnya tersengal-sengal.
“Tarik napas panjang.... Lalu embuskan,
tenangkan dirimu, bicara pelan-pelan,” aku memberinya saran, atau bisa disebut sebagai intruksi. Aku mendengar
dia mengikuti intruksiku. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Tenang
sejenak, beberapa saat kemudian, dia mulai berbicara dengan pelan-pelan.
“Laporan dan data penelitian ilmiah kita
hilang!”
Deg...
Kenapa bisa hilang? Yang benar saja laporan itu telah kubuat dengan susah
payah. Dan serang semuanya hilang begitu saja. Aku sebenarnya marah, karena dia
tidak bisa menjaganya dengan baik. Akan tetapi, aku mencoba menahan amarahku
dan bertanya, “Kenapa bisa terjadi?”
“Aku enggak tau, Sil, semuanya hilang gitu
aja!” Jawabnya.
“Ya udah, nanti kita cari tau. Kalau
tidak, kita buat lagi.”
“Sil, maafin aku, aku ga bisa jaga sesuatu
yang sudah kita buat susah payah.”
Ucapnya dengan penuh penyesalan.
“Udah, engga apa-apa,” kataku pasrah.
Aku berangkat ke sekolah dengan malas. Aku
begitu berantakan. Kulit kusam, mata berkantung hitam, seperti panda. Ini
terjadi karena aku kurang tidur. Aku hanya tidur 1 jam lebih 15 menit. Setelah
Amel menelepon, aku tidak
bisa tidur lagi karena memikirkan masalah hilangnya data penelitian itu.
Di koridor kelas, aku bertemu dengan Amel.
Wajahnya tidak lebih baik dari aku. Saat bertemu denganku, dia kembali
menunjukkan penyesalannya. Aku lihat, dia benar-benar menyesal begitu ceroboh.
Sebenarnya, ini bukan murni kesalahannya. Ini juga salahku. Kesalahan kami
bersama. Kami tidak menjaga dengan baik sesuatu yang penting ini. Aku mencoba
menenangkannya, dan menjelaskan kalau semua ini bukan murni salahnya.
Perlahan-lahan, dia mulai membaik dan tenang. Setelah benar-benar tenang, aku
mengajaknya pergi ke kelas bersama.
Di tengah perjalanan, kami berpapasan
dengan Rama, seseorang yang minggu kemarin menyatakan cintanya padaku, tapi aku
menolaknya. Aku memiliki segudang alasan kenapa aku menolaknya. Tapi, alasan
utamanya adalah, aku tidak
memiliki perasaan lebih padanya selain sebagai teman satu sekolah.
Sikap Rama begitu dingin padaku. Mungkin
dia tidak terima karena aku menolaknya. Selama ini dia memang terkenal sebagai prince charming yang tidak pernah
ditolak cewek. Jadi, kalau
dia besikap dingin padaku, ini tidak terlalu aneh. Akan tetapi, ada sesuatu
yang menurutku sangat aneh. Rama tersenyum dengan manis, tapi terkesan tidak
iklas pada gadis di sampingku, Amelia. Amel membalasnya dengan senyum manis
yang ceria. Biasanya Rama tidak pernah bersikap seperti ini pada Amel, Melihat
saja kadang ogah-ogahan.
“Pagi mel...” sapa Rama, dia bahkan
menyapa Amel.
“Pagi juga, Rama,” Amel membalas sapaan Rama.
Aku menyikut lengan Amel dan menanyakan
perihal keanehan Rama. Aku bertanya setelah Rama pergi tentunya. Mana mungkin
aku berani jika Rama masih ada di depanku. Dia menjawab pertanyaanku dengan
ketus.
“Memang salah dia menyapaku? Aneh?” Tanya Amel judes.
Setelah menjawab pertanyaanku dengan nada
yang tidak mengenakkan itu, Amel langsung meninggalkanku. Dia benar-benar aneh.
Tadi raut wajahnya penuh rasa penyesalan, tapi sekarang dia lebih terlihat
marah dan sebal. Dia marah padaku di kelas. Amel bersikap cuek, berbeda 180
derajat dari tadi pagi. Berkali-kali aku membuatnya tersenyum dan mau berbicara
padaku. Namun, hasilnya nihil. Aku lelah untuk membujuknya lagi.
Siang harinya, sepulang sekolah, aku menemui
Bu Fatma, pembina Ekstrakurikuler
KTI. Aku datang tanpa Amel. Dia langsung menghilang, sesaat setelah bel panjang
berbunyi. Aku datang menemui beliau, meminta perpanjangan waktu, untuk
menyelesaikan laporan dan data penelitian. Seharusnya, hari ini sudah
dikumpulkan.
“Tunggu di sini, sebentar lagi Bu Fatma akan datang!” Ucap salah seorang guru yang juga
mengajar di kelasku, namanya Bu Diana.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Ya, Naysila...?” Orang yang aku tunggu
telah datang dan menyapaku.
Aku pun menjelaskan maksud kedatangan, menemui
Bu Fatma. Beliau mendengarkan dengan baik. Tak lama kemudian, Bu Fatma setuju
untuk memberi tenggang waktu. Akan tetapi, hanya dua hari yang beliau berikan
untuk kelompokku. Aku tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan kedua yang diberikan oleh Bu Fatma.
“Terima kasih, Bu, sekali lagi terima kasih,” ucapku pada Bu Fatma, beliau
tersenyum lembut.
Berulang kali aku menelpon Amel, tetapi
dia tidak mengangkatnya. Dia sungguh aneh. Aku harus ke rumahnya untuk mengerjakan tugas bersama. Aku pun ke rumah sahabatku itu dengan mengayuh sepeda
merah muda kesayangan.
Ada pemandangan cukup menarik saat aku
tiba di dekat rumah Amel. Amel keluar dari sebuah mobil mewah berwarna merah
metalik. Di sekolahku, orang yang memiliki mobil merah itu hanyalah Rama. Aku
semakin yakin saat itu melihat Rama keluar dari mobil itu dan berbicara pada
Amel. Bagaimana mereka bisa sedekat ini? Sungguh aneh dan cukup menarik
perhatian. Cukup menarik juga untuk diselidiki, karena pasti ada “sesuatu”
dibalik semua ini.
Setelah Rama dan mobilnya itu pergi, aku
mendekati Amel. Aku pura-pura tidak melihat dia datang bersama Rama. Aku tidak
mempedulikannya.
“Hai, Mel, kamu kok ga angkat
telponku?” Tanyaku pada Amel.
“Emm..
Aku nggak bawa handphone!” Jawabnya,
terdengar kaku.
“Ada kabar bagus buat kita,” ucapku mencoba ceria.
“Apa?” Tanya-nya lagi.
Aku menceritakan kabar bahagia tersebut,
kesempatan kedua dari Bu Fatma. Dia juga terlihat senang, dan mengajakku masuk ke dalam rumahnya.
Setelah sampai di ruang tamu, dia
mempersilahkanku duduk. Sementara dia mengambil minuman untukku, aku
mempersiapkan beberapa bahan yang diperlukan.
“Ini, Sil, minumnya....” Tawar Amel.
“Makasih,” ucapku berterima kasih.
Aku langsung meneguk jus jeruk yang dibuat
oleh Amel. Tenggorokanku yang sangat kering, terasa sejuk saat air jus itu
melewatinya. Sedari tadi aku memang haus. Maklumlah, aku mengayuh sepeda dari rumahku ke rumah Amel yang jaraknya cukup jauh.
“Kita mulai dari mana, ya?” Tanyaku. Amel hanya diam, dia malah
terlihat melamun. Aku tidak bisa membaca pikirannya kali ini, belakangan ini
dia memang bersikap aneh.
“Amel..., halo….” Aku mengibas-ibaskan tanganku di depan
wajahnya untuk menyadarkan dia dari melamunnya.
“Eh, iya, Sil... a apa?” Tanya Amel padaku dengan
gugup. Seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruknya.
“Mel, apa kamu punya sesuatu yang
disembunyikan dariku?” Entah mengapa aku bisa bertanya seperti itu pada Amel.
“Enggak!” Jawabnya singkat dan terlihat
tidak wajar. Dia memang jarang berbicara singkat padaku. Akan tetapi, aku
berusaha untuk tidak mempersalahkannya.
“Emm, baiklah, mari kita lanjutkan!”
Aku dan Amel berkolaborasi menyusun
laporan dan beberapa data yang telah hilang.
***
Hari ini adalah hari saat aku dan Amel, serta kelompok lainnya, mempresentasikan hasil penelitian.
Jantungku berdegub lebih kencang daripada biasanya. Aku merasa laporan dan data
yang telah kelompokku buat tak sebaik data pertama yang telah hilang. Banyak
sekali kekurangan, karena waktu yang kami miliki sangat terbatas. Hanya dua
hari, sedangkan data yang hilang itu membutuhkan waktu sebulan.
Kelompok yang mendapatkan kesempatan
pertama untuk presentasi adalah kelompok Rama. Rama maju ke depan, dia terlihat percaya diri saat
memasukkan flashdisk-nya ke dalam
laptop milik sekolah, lalu
membuka slide power point milik
kelompoknya, tentu saja.
Namun, aku melihat ada keanehan pada slide
yang mereka tampilkan. Isinya aneh, aku sangat mengenali data yang mereka presentasikan.
Data yang mereka tampilkan sama persis seperti milik kelompokku yang hilang.
Tentu saja aku sangat tidak terima.
Ternyata Rama yang telah mencuri data
kelompokku. Kukepalkan tanganku, geram. Aku ingin sekali melampiaskan amarahku
pada orang itu. Akan tetapi, aku tidak mungkin melakukannya, aku harus menahan
amarah. Aku terus menatap Rama tajam saat dia mempresentasikan data yang bukan
miliknya itu. Saat presentasinya berakhir, semua orang yang ada di ruangan itu
memberi tepuk tangan yang meriah. Rama tersenyum dengan bangganya, begitu juga
kelompoknya. Dua orang itu sama saja.
Kini, tiba saatnya aku dan Amel
mempresentasikan hasil kerja kami. Aku harus yakin, presentasi ini berjalan
dengan lancar, walaupun temanya sama dengan data Rama.
Selama presentasi berlangsung, semua orang
yang berada di hadapanku menatap
tajam seolah mempertanyakan “Kenapa sama?”. Dalam hal ini mereka kira aku yang salah. Padahal, seharusnya
bukan aku yang salah, tapi
Rama.
Kendati demikian, presentasi tetap berjalan dengan lancar. Meskipun
tidak ada tepuk tangan yang meriah saat aku dan Amel mengakhiri presentasi
kami. Semua kelompok sudah menyelesaikan presentasi mereka. Suasana ruangan
untuk peserta menjadi sepi, hanya ada aku dan Rama. Rama masih sibuk memasukkan
peralatannya ke dalam tas, saat itulah aku datang menghampirinya.
“Ehm....
Pake cara apa tuh ngambil datanya?” Tanyaku pada Rama. Rama mendongakkan
kepalanya untuk melihatku. Posisinya sekarang duduk, sedangkan aku berdiri.
“Cara yang tidak pernah terlintas sedikit
pun di otakmu!”
Aku memutar otak, tapi aku aku tidak paham
dengan jawabannya.
“Maksudmu?”
“Tanyakan saja pada sahabatmu!” Jawabnya
lagi. Dia menggendong tasnya, lalu berdiri sebelum akhirnya dia pergi.
“Oh ya, satu lagi. Aku ga nyuri data kamu,
aku cuma minta,” tambahnya
sebelum dia pergi.
Keluar dari ruangan itu, aku langsung
menemui Amel di kelas. Dan aku menanyakan perihal data penelitian. Aku bertanya
tanpa pikir panjang karena terbawa emosi.
“Kamu yang ngasih data itu ke Rama?” Tanyaku
tanpa basa-basi. Amel tidak menjawab pertanyaanku.
“Data itu ga hilang kan?”
“Kamu nuduh aku?” Jawab Amel balik
bertanya.
“Aku nanya bukan nuduh. Atau mungkin, kamu
yang merasa tertudu!”
Amel mengeluarkan beberapa kalimat yang
berisi pembelaannya, entah
kenapa dia bersikeras untuk tidak mengakuinya. Padahal, aku sudah tahu kalau memang dia berbohong. Aku
bukan begitu saja mempercayai orang lain daripada sahabatku. Akan tetapi,
bahasa tubuh Amel mengatakan begitu. Dia berbohong.
“Baiklah, kalau kamu ga mau mengakuinya.
Aku udah tau kok, aku cuma pengen kamu jujur, jika kamu masih menganggapku
sahabatmu,” aku pasrah.
“Iya, memang aku melakukannya,” ucap Amel setelah lama membisu.
“Tapi, kenapa?”
“An
interesting offer...”
“Maksudnya?” Tanyaku tidak mengerti.
“Kamu tau, aku sudah lama menyukai Rama,
tapi Rama menyukaimu. Sebenarnya bukan hanya Rama, orang yang menyukaimu
sebelumnya juga begitu. Aku menyukai mereka, tapi mereka menyukaimu! Aku
lelah!” Ungkapnya panjang lebar dengan genangan air di kelopak matanya.
“Hari itu, ada tawaran menarik dan bodoh
dari Rama. Dia mau menuruti apa mauku, asalkan aku bersedia memberikan data-data itu padanya. Aku
menerimanya begitu saja, seperti terhipnotis!” Jelasnya lagi, kali ini dengan
air mata begitu deras mengalir.
“Aku lega, ternyata kamu masih menganggapku
sahabatmu. Kamu sudah berkata jujur....”
Ucapku lantas memeluknya, pelukan sahabat.
“Maafkan
aku, Sil, aku sudah
mengecewakanmu. Menghapus mimpimu untuk ikut lomba Karya Ilmiah Remaja tahun
ini.”
“Sudahlah, ada datapun belum tentu lolos.”
***
Hari pengumuman
kelompok pemenang telah tiba. Kelompok yang akan mengikuti
lomba KIR mewakili sekolah!
Semua menunggu dengan jantung yang
berdegup lebih cepat dari biasanya. Mereka semua ingin terpilih, tetapi hanya
satu pasangan yang berhak ikut.
“Saya umumkan kelompok yang mewakili
sekolah adalah....” Bu Fatma sengaja menggantungkan kalimatnya.
“Kelompok Naysila dan Amelia!” Lanjut Bu
Fatma.
“Selamat untuk Sila dan Amel, yang lain
jangan kecewa karena masih banyak kesempatan lainnya….”
Semua orang yang ada di ruangan tersebut memberi selamat kepadaku
dan Amel. Akan tetapi, itu tidak termasuk Rama. Rama pergi sesaat setelah
pengumuman. Dia terlihat begitu kecewa. Ya, dia sangat menginginkan kesempatan
ini. Tetapi dia telah berbuat curang. Mungkin itu juga buah dari kecurangannya.
Curang belum tentu menang.
***
Aku berbaring di atas rerumputan taman belakang bersama Amel. Malam ini, Amel
menginap di rumahku. Kami berdua tengah menatap bintang. Beberapa hari
terakhir, kami mendapat banyak masalah.
“Kau tau kenapa kita menang?” Tanyaku pada
Amel yang tampak tersenyum menatap langit. Dia sudah kembali menjadi sahabatku
yang seperti biasanya.
“Karena kita memang ditakdirkan menang.” Jawab Amel tersenyum, “sekali lagi, aku minta maaf atas
kebodohanku,” ungkitnya lagi
dengan penyesalan.
“Sudahlah, yang penting jangan duilangi
dan kita ambil hikmahnya.”
Amel tersenyum padaku, aku pun juga
tersenyum padanya. Suasana mulai hening, dan kami pun terhanyut dengan suasana
malam.
“Kamu tau engga? Ternyata Rama ceroboh
sekali. Masa kata Bu Fatma dia lupa mengganti nama kita di data yang dia
kumpulkan,” kataku membuka
pembicaraan lagi.
“Yang benar?” Tanya Amel tidak percaya.
“Iya beneran, maka dari itu Bu Fatma curiga, dan kecurigaannya
terbukti. Ya.... Rama ngaku kalau data itu bukan miliknya.” Jawabku dengan senyum agak lebar.
“Bodoh sekali dia, sudah susah payah
membujukku untuk memberi data itu, eh,
tenyata dia malah ceroboh gitu!”
serunya.
“Buah dari kecurangan!” Kataku.
Langit malam menjadi saksi kebahagiaanku.
Bintang di langit tersenyum melihat aku dan sahabatku Amelia saling menyatu
setelah sebuah masalah menerjang kami. Setelah masalah itu selesai, aku merasa
kami memang ditakdirkan untuk bersahabat. Walaupun diterjang masalah, kami
tetap menyatu. Dan setelah menyelesaikan masalah, kami menjadi semakin kuat.
Tetaplah menjadi sahabatku wahai “Amelia
Hutama”.
well written article.
BalasHapusFamily Tree Maker Support
Family Tree Maker
FTM help center
Family Tree Maker 2019
Best genealogy software
Free family tree templates
Family book creator
Family Search
Family Tree Maker Troubleshooting and live chat
Ancestry Login
Family Tree Maker 2019 Review
Best genealogy websites for beginners
Install Family Tree Maker
Free printable family tree templates
ak blog
BalasHapusdigital webs
The chosen topic should not be so specialized or technical that it becomes difficult to handle writing my law essay. You should consult your teachers after choosing a subject and getting them accepted. lol beans
BalasHapusThe chosen topic should not be too specialist or technical that it makes writing my law essay difficult. geometry dash scratch
BalasHapus