Cerpen Ria Anggarawati (LPM Sinar, 10 Februari 2017)
Sore itu ayah tak membalas pesan singkatku. Tak mengangkat telepon dari ku atau menghubungiku kembali. Aku tak khawatir, karena ayah memang selalu begitu. Hanya kesal, mengapa ayah harus begitu.
“Halo,” pada panggilan ke dua puluh
ayah akhirnya mengangkat telepon.
“Ayah!” Aku berteriak antusias.
Dari balik telepon
wajahku berseri. Sudah lama aku tak mendengar suaranya.
Terakhir kali kami mengobrol adalah
saat aku bilang akan ikut lomba melukis, tepatnya tiga bulan yang lalu. Kuminta
pada ayah untuk datang melihat pameran, namun ia tak datang. Tak pernah datang saat aku memintanya untuk datang. Kami
tak pernah bertemu semenjak dua tahun terakhir –saat aku diangkat anak oleh
bude, saudara perempuan ayah– lepas merayakan tahun baru bersama.
“Kenapa, Nduk? Maaf ayah tak
mengangkat telepon.
Ayah sibuk,” jawab ayah datar.
“Ayah dimana? Khurbi ingin ketemu,”
kataku penuh harap.
“Masih di gresik, Nduk, maaf belum
bisa bertemu.”
“Yah, Khurbi mau buat pameran
lukisan, Ayah datang,
ya. Nanti sekalian ngerayain tahun baruan sama-sama,” ucapku penuh harap.
Berharap kali ini memang dapat bertemu dengan ayah, laki-laki yang paling
kusayang di dunia.
"Iya, insya Allah Desember nanti kita rayakan sama-sama, Nduk. Ayah pasti
datang di pameranmu.”
Sore itu aku membuat kesepakatan
dengan ayah. Jika Ayah tak menepati janjinya aku tak akan pernah mau
menghubungi ayah kembali.
Desember ini aku memang berencana
membuat sebuah pameran lukisan. Beberapa lukisan yang telah kubuat selama satu
tahun terakhir. Tentang banyak hal, dan yang pasti tentang Ayah. Laki-laki itu
suka melihatku melukis.
Sejak
kecil aku memang hanya tinggal dengan ayah. Aku sering menghabiskan sore hari
di taman untuk melukis senja bersama ayah.
Beliau mengajariku bayak hal tentang melukis.
Ayah punya satu mimpi besar dalam
hidup nya. “Khurbi kalau sudah besar harus bisa buat pameran lukisan. Lukisan
nya Khurbi bagus, sayang kalau cuma disimpan di rumah,” katanya di suatu sore sembari mengelus
rambutku. Ayah dan aku selalu memiliki agenda rutin ditiap akhir tahun. Di
bulan Desember pada malam pergantian tahun kami selalu menghabiskan waktu
berdua. Melukis bunga api.
Aku pernah bertanya di salah satu
Desember pada Ayah, “Kenapa harus melukis bunga api, Yah? Khurbi ingin menyalakan nya saja, seperti
teman-teman lain.”
Lalu dengan senyuman yang penuh
ketenangan ayah menjawab, “Supaya bunga api milik kita abadi, Nduk, tidak
seperti milik teman-temanmu yang hanya bisa dilihat beberapa menit kemudian
hilang.” Aku diam menatap ayah, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah
Dasar.
***
Malam hari di bulan Desember, aku
melihat seorang laki-laki dengan setelan jas yang rapi. Sepatu pantofel yang
dikenakannya pun tampak mengkilap. Ayah datang dalam pameran lukisanku. Aku
menghampirinya dengan
setengah berlari, memeluknya dan melepas rindu yang selama ini aku simpan.
Laki-laki yang kupanggil ayah itu memang benar-benar datang menepati janjinya.
“Ayah kemana saja?” Tanyaku sembari
melepas pelukan.
“Ayah sibuk melukis lukisan pesanan
langganan, Nduk,” senyuman ayah masih sama, menenangkan pikiranku.
“Ayah pasti sudah sukses, ya, sekarang? Ayah tinggal dimana?” Pertanyaan
yang selama ini kusimpan akhirnya dapat terlontarkan padanya.
“Alhamdulillah. Tenang saja, kapan-kapan
ayah ajak Khurbi main!”
“Janji?” Kusodorkan jari kelingkingku sebagai bukti
stempel bahwa Ayah memang sedang berjanji. Seperti seorang anak kecil yang tak
ingin ditinggal ayahnya pergi.
Ayah tampak sehat dan begitu
gembira. Penampilannya malam itu membuatku lega. Selama ini kupikir ayah sedang
memiliki masalah atau menyembunyikan sesuatu.
Dan pada malam yang lain, aku melihat
ayah di alun-alun kota Gresik. Namun ayah benar-benar berbeda. Baik penampilan
atau tentang tempat tinggalnya. Sungguh berbeda dengan yang kulihat di malam pameran lukisanku minggu lalu.
Ayah juga tak menepati janjinya.
Janji melukis bunga api bersama dan berkunjung ke rumahnya.
Karena Ayah tak memiliki rumah, begitu kata teman melukisnya. Ayah hanyalah
seorang pelukis jalanan, dan tempat tinggalnya berpindah-pindah. Di hari lain
aku coba menemuinya kembali di alun-alun kota. Namun, ia tak pernah terlihat
lagi dan aku tak tau ia berada dimana. Ayah kembali tak mengangkat telepon dariku.
Ayah berbohong tentang dirinya.
Walaupun begitu ayah tetap yang terhebat. Dan di malam tahun baru ini aku
percaya, sedang melukis bunga api bersama Ayah. Walau dari kejauhan dan pada
tempat yang berbeda, aku yakin Ayah sedang melukis saat ini. Melukis bunga api
seperti yang kami lakukan pada tiap akhir tahun yang telah kami lalui.
Family Tree Maker Support
BalasHapusFamily Tree Maker
FTM help center
Family Tree Maker 2019
Best genealogy software
Free family tree templates
Family book creator
Family Search
Family Tree Maker Troubleshooting and live chat
Ancestry Login
Family Tree Maker 2019 Review
Best genealogy websites for beginners
Install Family Tree Maker
Free printable family tree templates
Wow great blog I think my friend was right, My friend suggested me to visit your blog to get useful information and now I am also satisfied because he is now your visitor run 3. good job sir keep it up.
BalasHapusnice idea free games
BalasHapus