Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Jumat, 09 Oktober 2015

Lorong Sempit

 “Indonesia itu luas, banyak penduduknya dan banyak kekayaan alamnya, tapi lorong sempit pendidikan bagi kaum sepertiku masih sangat kurasakan”.
            Semangat bertahan hidup ini rasanya tak pernah pupus, bertahun-tahun aku menghabiskan perjalanan hidupku di kota tua ini Ganjur. Dengan melelahkan, pagi hari menjual Koran harian dan malam hari memulung, tiada sedikit waktu senggangku meskipun hanya melepas tawa bersama teman-teman se kampungku Loceret.
            Menjadi perantau di kota Ganjur memang, menjadi suatu pilihan hidupku  ketika kedua orang tuaku di desa yang berpenghasilan tak lebih dari 500 ribu rupiah perbulan  tak sanggup menyekolakan aku lagi dan menyuruhku bekerja demi menutupi kekurangan kebutuhan hidup yang semakin terhimpit. Ya gara-gara masalah yang sangat penting uang dan uang. Haduuh uang-uang,kapan ya aku bisa menggengamu sebanyak mungkin dan melepaskan jerat pendidikan dari lorong sempit ini.
            “Mengapa kau begitu gelisah nak?” sahut bapak Jiun teman mulungku yang sedari tadi sengaja mengawasiku dari jauh. Aku lagi kepikiran sama pendidikan di Negara kita ini pak. Indonesia.”lah memang kenapa nak sama pendidikan kita?” aku sangat kecewa dulu bapak, aku hanya bisa bersekolah sampai tingkat sekolah dasar saja, itupun hasil kerja keras orangtuaku banting tulang ngutang sana-sini buat kebutuhan beli seragamku, buku pelajaran dan sepatuku.
            Pagi tadi aku sempat sekilas membacara di Koran harian kalau pendidikan itu gratis sampai 9 tahun dan anak-anak di Indonesia harus wajib belajar 9 tahun. Aku terus menyimak berita tersebut sampai habis, apa benar–benar pemerintahnya ini mengratiskan pendidikan kita. Kalau toh gratis pasti aku sangat bahagia sekali. Syukur syukur aku bisa melanjutkan sekolahku lagi.
“Nak, kamu tetap semangat ya, bapak hanya bisa mendoakanmu saja. Anggaplah aku sebagai orang tuamu sendiri, tepukan tangan bapak Jiun dipundakku. Iya pak” terima kasih.  doa-doa yang menyertaiku seakan menambah lecutan semangatku ingin meraih pendidikan yang tinggi, sederajat dengan mereka-mereka  kaum mampu.
Kulanjutkan lagi perjalananku menyusuri gorong-gorong kota mengais rejeki dari sisa orang, mengumpulkan botol bekas,kardus bekas dan kaleng yang berserakan di jalan atau yang ada di tempat sampah. Tepat pukul 12 malam dan kurasai sudah sekarung penuh hasil pulunganku aku mengistirahatkan diri. Tidur di emperan jalan beralaskan ubin lantai yang dingin dan nyamuk-nyamuk yang merefleksi tubuhku dengan gratis menghisap setetes darah jernih tubuhku.
###
            Matahari telah nampak dari timur, tanda pagi sudah menjelang kubergegas ketempat distributor Koran mengambi ljatah Koran, yang harus kujajakan setiap hari di sudut kota, 2 bendel Koran yang berjumlah 50 buahpotong Koran dengan nominal uang 150 ribu rupiah haruskujajakanhabis. Setiap potong Koran aku mengambil untung 500 perak kalau ada 50 potong aku dapat mengantongi 25 ribu perharinya cukup untuk membeli 3 bungkus nasi dengan lauk tahu, tempe dan esteh.
            “Koran koran koran, buk, pak, koran mau beli ta?” “Iya dik beli koranya satu.”Pelangan pertama mengawali hariku ini. Terik matahari pada pagi ini tak mengurangi setiap jengkal kakiku untuk melangkah menyusuri jalan dan menjajakan koran. Meskipun perut ini sudah merontah-rontah untuk harus di isi. Tapi sepeser uang pun aku belum punya, ya terpaksa aku harus menahan dan menahan lapar ini sampai terkumpul semua uangku dan membeli nasi bungkus.
            Hampir menjelang sore koranku masih tersisa 20 potong, perasaan  bingung melanda diriku. Lantaran beritanya takut basi dan orang-orang tak mau membeli koranku, aku akan merugi, itu suatu ketakutan teramat, uang dan uang itu saja masalahnya bukan kesehatan, Tuhan telah memberikan rahmat yang tiada tak terkiranya kepada diriku. Di umurku yang hampir menginjak 17 tahun aku tak pernah merasakan kesakitan yang teramat pada diriku, meskipun jarang makan dan jarang istirahat aku tetap dalam keadaan sehat selalu.
            “koran..koran..koran..” “mas beli korannya!” sahut pengendara motor yang memangilku dari kejauhan. “owh, iya pak mau beli berapa potong koranya?” “itu ada berapa potong semua koranmu mas?”“Ini pak masih banyak ada 20 potong!”“Ya sudah kalau begitu bapak beli semuanya, ini sudah sore orang-orang pasti sudah jarang yang mau beli koran, kalau tidak pagi hari mas.”“iya pak,makasi yang banyak bapak sudah mau menolong saya.” “kamu  tadi sudah makan ?” tanya bapak“kebetulan saya dari tadi pagi belum makan pak.”“Owalah, ya sudah kalau begitu ikut naik ke sepeda bapak, ayo kita ke warung cari makan.”“Beneranta pak?” Sahutku. “Iya ayo cepat naik ke motor” “ow, iya,iya pak. terima kasih yang banyak sekali lagi.”
            Pertemuanku dengan bapak Irwan di jalan yang berlanjut di warung makan membukakan sedikit pencerahan bagiku. Aku sempat bertanya lagi kepada pak Irwan tentang kejelasan pemerintah tentang program wajib belajar sembilan tahun, dan kebutulan pak Irwan adalah seorang guru yang mengajar di kota Ganjur. “ program pemerintah wajib belajar sembilan tahun itu semuanya tidak gratis mas, kamu harus membeli keperluan alat tulis, seragam, sepatu dan tas. Bukan pemerintah mengratiskan semuanya.” Jawab pak Irwan“owalah jadi begitu ya pak, saya kira pemerintah sudah mengratiskan semua untuk pendidikan sampai jenjang SMP.”
            Lorong sempit pendidikan di Indonesia harus kutelan lagi pahit-pahit dalam mulutku, menelan pahitnya pendidikan bagi kaum sepertiku, anak yang hidup di jalanan mengais rejeki menjajakan koran setiap pagi dan memulung pada malam hari tentu tidak cukup untuk menyisakan uangku untuk membeli keperluan sekolah, sedang kebutuhan hidupku di kota Ganjur masih pontang-panting dan harus mengirimkan uang untuk ibu dan bapak di Loceret. Aku melihat Indonesia itu indah terutama di kota Ganjur ini hasil kekayaan alamnya melimpah ruah padi, jagung, singkong dan buah-buahan. Tapi mengapa menyisahkan sedikit anggaran untuk pendidikan gratistissss tidak di pungut biaya sepeser pun saja belum mampu. Lorong sempit pendidikan bagai tak pernah terjamah, takut untuk melihat kenyataan bahwa lorong itu begitu sempit, sampai-sampai aku tak bisa masuk dalam bangku pendidikan. Ya lorong sempit pendidikan itu, aku Karto cukup berdiri tegak dengan kedua kakiku, tegak menatap zaman yang keras, aku sudah cukup menelan pahitnya pendidikanku saja, dan jangan sampai terulang lagi bagi adik-adiku nanti.

Oleh : Dwi Prayoga Setywan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm