Selamat Datang di Situs Lembaga Pers Mahasiswa Sinar FIP Universitas Trunojoyo Madura

Jumat, 20 Maret 2020

Hukuman yang mati


Hukuman yang mati
Oleh: Siti Munajah



Panas matahari kali ini sangat menyengat. Mahfud seorang guru agama di sekolah Aliyah sedang berada di dalam kantor, saat itu dia sedang duduk di kursinya, karena kegerahan dia membuka jendela dekat mejanya. Ketika membuka jendela dia melihat siswa-siswanya memakai peci tanpa alas kaki, tengah berlarian setelah melaksanakan sholat dzuhur. Mereka mempercepat gerakannya karena menghindari panasnya lapangan. Siswa-siswa itu mengingatkan mahfud ketika masih menjadi seorang santri di pondok pesantren. Mahfud terhanyut oleh lamunannya.
***
“Ah ini kembar sama sandalku yang hilang kemarin” kata Mahfud saat berada di latar masjid, setelah melakukan sholat berjamaah. Setelah itu larilah Mahfud menuju kelasnya, selang waktu 30 menit teman-teman sudah memenuhi bangku kelas yang tadinya hanya berisi Mahfud seorang diri. Teman sebangku Mahfud menatap kakinya.
“Fud sandalmu udah ketemu?” kata Anas teman sebangkunya sambil menatap  ke kaki Mahfud.
“Ini bukan sandalku nas aku tau rasanya sandalku, ini sandal santri lain mirip punyaku jadi aku ambil,” Mahfud berbisik di telinga Anas karena takut kedengaran santri lain.
Anas kaget "Kamu ngawur fud, tadi kiyai said kehilangan sandal kuwatirnya sandal yang kamu ambil milik pak kiyai"
Mahfud kaget, "matilah aku pak yai pasti tau aku pencurinya".
"Pak yai itu bisa menerawang siapa pencurinya matilah kau fud, apalagi setelah ini pelajaran pak yai." jawab Anas.
Salam pak yai menghentikan percakapan Mahfud dan anas.
"Assalamu'alaikum wr.wb." Pak yai sambil duduk di atas kursi guru.
Mahfud langsung melihat telapak kaki pak yai. Kemudian dia berbisik di Anas "Nas pak yai tidak beralas kaki."
"Kamu sembunyikan kaki mu ke dalam jangan sampai ketahuan." Anas dengan suara yang kecil mengatakan itu.
Santri yang ada di bangku terdepan bertanya "yai itu kenapa sandalnya hanya diletakkan di atas meja sedangkan pak yai tidak beralas kaki".
"Ini mau ngasih sandal ke mahfud." Kiyai menuju bangku Mahfud meletakkan yang baru dan masih tertempel nomer ukurannya.
Mahfud hanya tertunduk untuk bilang terimakasih rasanya sangat malu. Tapi karena tidak kuat menahan rasa bersalah Mahfud maju ke bangku pak yai dan menangis dengan mengembalikan sandal curiannya serta sandal pemberian pak yai. Desak tangis Mahfud menggelegar di ruang kelas.
"yai, maafkan aku telah mengambil yang bukan hak milikku, aku mengaku bersalah dan ini aku kembalikan sandal pak yai serta sandal baru ini aku tidak pantas mendapatkannya," kata Mahfud sambil menangis.
"Sudah jangan menangis Mahfud, sandal baru ini sudah jadi hak milikmu untuk sandal lama pak kiyai terimakasih sudah berani mengakuinya bapak kagum sama Mahfud," sambil merangkul Mahfud dan mengusap air mata Mahfud.
"Aku rela di hukum apa saja untuk menebus dosa ku pak yai."
"Tidak usah, cita-cita mu besok ingin jadi apa?" Tanya pak kiyai.
"Aku ingin jadi seperti pak yai," jawab Mahfud dengan bercampur suara tangisannya.
***
Lamunan Mahfud terhenti, dia tersenyum mengingat kejadian itu. Tidak menyangka perkataannya ingin menjadi seperti kiyai menjadi kenyataan, membawanya menjadi pengajar walau saat ini bukan di pondok tapi di sekolahan madrasah Aliyah sekitar kampungnya. Mahfud kembali duduk di bangkunya dan melanjutkan menilai hasil pekerjaan para murid.
 Cara pengajaran di pondoknya dulu menjadi tauladan Mahfud ketika menjadi guru. Dia akan memukul jari-jari murid-muridnya menggunakan stik drumband jika kukunya tidak di potong, dia akan menyuruh muridnya naik turun tangga jika tidak mengerjakan tugas sekolah dan masih banyak lagi.  Mahfud tidak pernah menghukum tanpa kejelasan. Selalu ada sebab yang jelas dalam pemberian hukuman pada murid-muridnya.
Tapi kali ini berbeda, ada wali murid yang datang ke sekolah marah-marah mencarinya. Wali murid itu menggunakan seragam polisi, dia datang membawa rombongan berjaket kulit dengan membawa map coklat beserta borgol yang di gantung di salah satu celana orang berjaket kulit.
"Dimana yang namanya pak Mahfud ",  wali murid yang masih berseragam polisi  berteriak-teriak di kantor guru.
Kepala sekolah menemui wali murid tersebut "tenang pak, ada apa ini ?" sambil mempersilahkan wali murid itu beserta rombongannya untuk duduk dulu menjelaskan perihal apa yang terjadi.
"Mahfud dimana?" Tanya wali murid pada kepala sekolah.
"Mahfud mengajar pak. Anda jelaskan dulu kepada saya apa yang terjadi?" Jawab kepala sekolah.
"Mahfud telah menampar anak saya pak" dia memberikan ponselnya ke kepala sekolah agar kepala sekolah melihat foto pipi anaknya setelah ditampar Mahfud.
"Mahfud bukan guru yang sembarangan dalam menghukum siswanya pasti ada akibat yang belum Anda ketahui pak" balas pak kepala sekolah.
Salah satu rombongan berjaket kulit menjawab pernyataan pak kepala sekolah "Hari ini kita sudah membawa surat penangkapan untuk pak Mahfud untuk penjelasan sebab pak Mahfud menampar bisa dijelaskan di kantor polisi".
Berdirilah pak kepala sekolah dari bangkunya mengajak rombongan menemui Mahfud "Mari saya antar ke pak Mahfud".
Setelah berada di depan kelas kepala sekolah tidak mengizinkan rombongan polisi  untuk masuk ke dalam kelas, karena kepala sekolah khawatir seluruh murid berfikir yang tidak-tidak.
Pintu diketuk oleh kepala sekolah Tok tok tok " Assalamu'alaikum Pak Mahfud ini saya pak Arif".
"Masuk pak" balas Mahfud.
Pak kepala sekolah menanyai dengan berbisik pelan ke Mahfud "Kamu di cari polisi gara-gara menampar Doni, aku tau pasti kamu punya alasan melakukan itu".
Mahfud menjawab "Doni kemarin aku tampar karena telah meraba-raba teman perempuannya dengan berkata jorok tanganku sengaja menampar pipi  Doni" Kepala sekolah mempercayai apa yang dikatakan Mahfud karena Mahfud sudah menjadi guru selama 10 tahun di sekolahnya jadi, dia sangat mempercayai Mahfud. Dibawalah Mahfud oleh segerombolan orang berjaket kulit dengan diborgol tangannya dan digiring oleh wali murid berseragam polisi. Karena ayah Doni berpangkat tinggi dalam  kepolisian, meskipun Doni bersalah Mahfud tetap dipenjarakan. Berakhirlah Mahfud dijeruji sedangkan Doni masih tetap bertingkah semaunya.
Kepala sekolah yang sedang di dalam kantor melihat Doni dari balik jedela dia teringat Mahfud yang ada di dalam jeruji penjara. Saat pak kepala sekolah meyaksikan Doni yang tengah mengikuti pelajaran olahraga saat itu pak kepala sekola melihat Doni menjaili anak perempuan.
"Kembalikan jilbabku Doni" dia menangis sambil menutupi wajahnya.
"Hahaha itu rambut apa sapu ijuk hahah" balas Doni dengan tertawa terbahak-bahak mempermalukan rambut si anak perempuan itu.
Pak kepala sekolah yang dari tadi menyaksikan kelakuan Doni tidak kuat beranjak berdiri mau menjewer Doni tapi dia menghentikan langkahnya, mengingat takut akan berakhir di jeruji. Dia menutup tirai jendela dan mengabaikan kejahilan Doni.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alamat Kami

Jln. Raya Telang - Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura

Follow Us

Designed lpmsinar Published lpmsinar_fkipUtm